Senin, 06 Juni 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2008
TENTANG
PEMILIHAN UMUM
ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,
DEWAN PERWAKILAN DAERAH,
DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2008
TENTANG
PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN
DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik
rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur
aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, diselenggarakan pemilihan umum;
b. bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan
sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan
pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2006
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi Undang-Undang
dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum serta adanya perkembangan demokrasi dan
dinamika masyarakat, maka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
perlu diganti;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
hurut a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
1
Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 2 ayat (1), Pasal 5 ayat (1),
Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22C ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 22E, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24C, Pasal 27
ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 ayat
(4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4721);
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
1
3. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan
Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
4. Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disebut DPD, adalah Dewan Perwakilan
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disebut KPU, adalah lembaga penyelenggara
Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
7. Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota,
selanjutnya disebut KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, adalah penyelenggara
Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota.
8. Panitia Pemilihan Kecamatan, selanjutnya disebut PPK, adalah panitia yang
dibentuk oleh KPU kabupaten/kota untuk menyelenggarakan Pemilu di tingkat
kecamatan atau sebutan lain, yang selanjutnya disebut kecamatan.
9. Panitia Pemungutan Suara, selanjutnya disebut PPS, adalah panitia yang dibentuk
oleh KPU kabupaten/kota untuk menyelenggarakan Pemilu di tingkat desa atau
sebutan lain/kelurahan, yang selanjutnya disebut desa/kelurahan.
10. Panitia Pemilihan Luar Negeri, selanjutnya disebut PPLN, adalah panitia yang
dibentuk oleh KPU untuk menyelenggarakan Pemilu di luar negeri.
11. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, selanjutnya disebut KPPS, adalah
kelompok yang dibentuk oleh PPS untuk menyelenggarakan pemungutan suara
di tempat pemungutan suara.
12. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri, selanjutnya disebut
KPPSLN, adalah kelompok yang dibentuk oleh PPLN untuk menyelenggarakan
pemungutan suara di tempat pemungutan suara di luar negeri.
13. Tempat Pemungutan Suara, selanjutnya disebut TPS, adalah tempat
dilaksanakannya pemungutan suara.
14. Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri, selanjutnya disebut TPSLN, adalah tempat
dilaksanakannya pemungutan suara di luar negeri.
15. Badan Pengawas Pemilu, selanjutnya disebut Bawaslu, adalah badan yang bertugas
mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
1
16. Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dan Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota,
selanjutnya disebut Panwaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota, adalah
panitia yang dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu
di wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
17. Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, selanjutnya disebut Panwaslu kecamatan,
adalah panitia yang dibentuk oleh Panwaslu kabupaten/kota untuk mengawasi
penyelenggaraan Pemilu di wilayah kecamatan.
18. Pengawas Pemilu Lapangan adalah petugas yang dibentuk oleh Panwaslu
kecamatan untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di desa/kelurahan.
19. Pengawas Pemilu Luar Negeri adalah petugas yang dibentuk oleh Bawaslu untuk
mengawasi penyelenggaraan Pemilu di luar negeri.
20. Penduduk adalah warga negara Indonesia yang berdomisili di wilayah Republik
Indonesia atau di luar negeri.
21. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara.
22. Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh
belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.
23. Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota dan perseorangan untuk Pemilu anggota DPD.
24. Partai Politik Peserta Pemilu adalah partai politik yang telah memenuhi persyaratan
sebagai Peserta Pemilu.
25. Perseorangan Peserta Pemilu adalah perseorangan yang telah memenuhi
persyaratan sebagai Peserta Pemilu.
26. Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para pemilih
dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu.
27. Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPR, yang selanjutnya disebut BPP DPR,
adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh Partai
Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan suara 2,5% (dua
koma lima perseratus) dari suara sah secara nasional di satu daerah pemilihan
dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah
perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu.
28. Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPRD, selanjutnya disebut BPP DPRD,
adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah dengan jumlah
kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi Partai
Politik Peserta Pemilu dan terpilihnya anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/
kota.
1
BAB II
ASAS, PELAKSANAAN, DAN LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU
Pasal 2
Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pasal 3
Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.
Pasal 4
(1) Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.
(2) Tahapan penyelenggaraan Pemilu meliputi:
a. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
b. pendaftaran Peserta Pemilu;
c. penetapan Peserta Pemilu;
d. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
e. pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota;
f. masa kampanye;
g. masa tenang;
h. pemungutan dan penghitungan suara;
i. penetapan hasil Pemilu; dan
j. pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.
(3) Pemungutan suara dilaksanakan pada hari libur atau hari yang diliburkan
Pasal 5
(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
(2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil
banyak.
Pasal 6
(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota diselenggarakan oleh KPU.
1
(2) Pengawasan penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh Bawaslu.
BAB III
PESERTA DAN PERSYARATAN MENGIKUTI PEMILU
Bagian Kesatu
Peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD
Pasal 7
Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota adalah partai politik.
Pasal 8
(1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:
a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;
b. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi
yang bersangkutan;
d. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000
(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik
sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan
kepemilikan kartu tanda anggota;
f. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan
huruf c; dan
g. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.
(2) Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dapat menjadi Peserta
Pemilu pada Pemilu berikutnya.
Pasal 9
(1) KPU melaksanakan penelitian dan penetapan keabsahan syarat-syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penelitian dan penetapan keabsahan
syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan
KPU.
1
Pasal 10
Nama dan tanda gambar partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf g dilarang sama dengan:
a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia;
b. lambang lembaga negara atau lambang pemerintah;
c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional;
d. nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang;
e. nama atau gambar seseorang; atau
f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama,
lambang, atau tanda gambar partai politik lain.
Bagian Kedua
Peserta Pemilu Anggota DPD
Pasal 11
(1) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.
(2) Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi Peserta Pemilu
setelah memenuhi persyaratan.
Pasal 12
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau
lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK),
atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
1
h. sehat jasmani dan rohani;
i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan
usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang
anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat
pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara,
notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan
penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta
pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya,
pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta
badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. mencalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
o. mencalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan
p. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang
bersangkutan.
Pasal 13
(1) Persyaratan dukungan minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf p
meliputi:
a. provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang harus
mendapatkan dukungan dari paling sedikit 1.000 (seribu) pemilih;
b. provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan
5.000.000 (lima juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit
2.000 (dua ribu) pemilih;
c. provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan
10.000.000 (sepuluh juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling
sedikit 3.000 (tiga ribu) pemilih;
d. provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh juta) sampai dengan
15.000.000 (lima betas juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling
sedikit 4.000 (empat ribu) pemilih; dan
1
e. provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) orang
harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 5.000 (lima ribu) pemilih.
(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebar di paling sedikit 50%
(lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang
bersangkutan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuktikan dengan
daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan atau cap jempol dan dilengkapi
fotokopi kartu tanda penduduk setiap pendukung.
(4) Seorang pendukung tidak dibolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari
satu orang calon anggota DPD.
(5) Dukungan yang diberikan kepada lebih dari satu orang calon anggota DPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan batal.
(6) Jadwal waktu pendaftaran Peserta Pemilu anggota DPD ditetapkan oleh KPU.
Bagian Ketiga
Pendaftaran Partai Politik sebagai Calon Peserta Pemilu
Pasal 14
(1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu dengan mengajukan pendaftaran
untuk menjadi calon Peserta Pemilu kepada KPU.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan surat yang
ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lain pada
kepengurusan pusat partai politik.
(3) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan dokumen
persyaratan.
(4) Jadwal waktu pendaftaran Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan oleh KPU.
Pasal 15
Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) meliputi:
a. Berita Negara Republik Indonesia yang memuat tanda terdaftar bahwa partai
politik tersebut menjadi badan hukum;
b. keputusan pengurus pusat partai politik tentang pengurus tingkat provinsi dan
pengurus tingkat kabupaten/kota;
c. surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang kantor dan alamat
tetap pengurus tingkat pusat, pengurus tingkat provinsi, dan pengurus tingkat
kabupaten/kota;
1
d. surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) sesuai
dengan peraturan perundang-undangan;
e. surat keterangan tentang pendaftaran nama, lambang, dan tanda gambar partai
politik dari Departemen; dan
f. surat keterangan mengenai perolehan kursi partai politik di DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota dari KPU.
Bagian Keempat
Verifikasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu
Pasal 16
(1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai dilaksanakan paling
lambat 9 (sembilan) bulan sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan waktu verifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan KPU.
Bagian Kelima
Penetapan Partai Politik sebagai Peserta Pemiiu
Pasal 17
(1) Partai politik calon Peserta Pemiiu yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ditetapkan sebagai Peserta Pemilu oleh KPU.
(2) Penetapan partai politik sebagai Peserta Pemiiu dilakukan dalam sidang pleno
KPU.
(3) Penetapan nomor urut partai politik sebagai Peserta Pemiiu dilakukan secara
undi dalam sidang pleno KPU terbuka dan dihadiri oleh wakil seluruh Partai Politik
Peserta Pemilu.
(4) Hasil penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diumumkan
oleh KPU.
Bagian Keenam
Pengawasan atas Pelaksanaan Verifikasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu
Pasal 18
(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota melakukan
1
pengawasan atas pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu yang
dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(2) Dalam hal Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota menemukan
kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, dan
KPU kabupaten/kota dalam melaksanakan verifikasi sehingga merugikan dan/
atau menguntungkan partai politik calon Peserta Pemiiu, maka Bawaslu, Panwaslu
provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota menyampaikan temuan tersebut kepada
KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti temuan
Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
BAB IV
HAK MEMILIH
Pasal 19
(1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur
17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pemah kawin mempunyai hak
memilih.
(2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh
penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.
Pasal 20
Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar
sebagai pemilih.
BAB V
JUMLAH KURSI DAN DAERAH PEMILIHAN
Bagian Kesatu
Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPR
Pasal 21
Jumlah kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 (lima ratus enam puluh).
Pasal 22
(1) Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi atau bagian provinsi.
(2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 (tiga) kursi
dan paling banyak 10 (sepuluh) kursi.
1
(3) Penentuan daerah pemilihan anggota DPR dilakukan dengan mengubah ketentuan
daerah pemilihan pada Pemilu 2004 berdasarkan ketentuan pada ayat (2).
(4) Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan lampiran
yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Bagian Kedua
Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi
Pasal 23
(1) Jumlah kursi DPRD provinsi ditetapkan paling sedikit 35 (tiga puluh lima) dan
paling banyak 100 (seratus).
(2) Jumlah kursi DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan
pada jumlah Penduduk provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan:
a. provinsi dengan jumlah Penduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa
memperoleh alokasi 35 (tiga puluh lima) kursi;
b. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai
dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa memperoleh alokasi 45 (empat puluh lima)
kursi;
c. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 3.000.000 (tiga juta) sampai
dengan 5.000.000 (lima juta) jiwa memperoleh alokasi 55 (lima puluh lima)
kursi;
d. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai
dengan 7.000.000 (tujuh juta) jiwa memperoleh alokasi 65 (enam puluh lima)
kursi;
e. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 7.000.000 (tujuh juta) sampai
dengan 9.000.000 (sembilan juta) jiwa memperoleh alokasi 75 (tujuh puluh
lima) kursi;
f. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 9.000.000 (sembilan juta) sampai
dengan 11.000.000 (sebelas juta) jiwa memperoleh alokasi 85 (delapan puluh
lima) kursi;
g. provinsi dengan jumlah Penduduk lebih dari 11.000.000 (sebelas juta) jiwa
memperoleh alokasi 100 (seratus) kursi.
Pasal 24
(1) Daerah pemilihan anggota DPRD provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan
kabupaten/kota.
1
(2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi ditetapkan sama
dengan Pemilu sebelumnya.
Pasal 25
(1) Jumlah kursi anggota DPRD provinsi yang dibentuk setelah Pemilu ditetapkan
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Alokasi kursi dan daerah pemilihan anggota DPRD provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak
12 (dua belas)kursi.
(3) Dalam hal terjadi pembentukan provinsi baru setelah Pemilu, dilakukan penataan
daerah pemilihan di provinsi induk sesuai dengan jumlah penduduk berdasarkan
alokasi kursi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penataan daerah pemilihan di provinsi induk dan pembentukan daerah pemilihan
di provinsi baru dilakukan untuk Pemilu berikutnya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai alokasi kursi dan daerah pemilihan anggota
DPRD provinsi ditetapkan dalam peraturan KPU.
Bagian Ketiga
Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPRD
Kabupaten Kota
Pasal 26
(1) Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota ditetapkan paling sedikit 20 (dua puluh)
dan paling banyak 50 (lima puluh).
(2) Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada jumlah Penduduk kabupaten/kota yang bersangkutan dengan
ketentuan:
a. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk sampai dengan 100.000 (seratus
ribu) jiwa memperoleh alokasi 20 (dua puluh) kursi;
b. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 100.000 (seratus ribu)
sampai dengan 200.000 (dua ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 25 (dua
puluh lima) kursi;
c. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 200.000 (dua ratus ribu)
sampai dengan 300.000 (tiga ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 30 (tiga
puluh) kursi;
d. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu)
sampai dengan 400.000 (empat ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 35 (tiga
puluh lima) kursi;
1
e. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 400.000 (empat ratus
ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa memperoleh alokasi 40
(empat puluh) kursi;
f. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu)
sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa memperoleh alokasi 45 (empat
puluh lima) kursi;
g. kabupaten/kota dengan jumlah Penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta)
jiwa memperoleh alokasi 50 (lima puluh) kursi.
Pasal 27
(1) Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan atau
gabungan kecamatan.
(2) Jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan
sama dengan Pemilu sebelumnya.
(3) Jumlah kursi anggota DPRD kabupaten/kota di kabupaten/kota yang memiliki
jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa berlaku ketentuan Pasal
26 ayat (2) huruf g.
(4) Penambahan jumlah kursi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf
g diberikan kepada daerah pemilihan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak
secara berurutan.
Pasal 28
(1) Dalam hal terjadi bencana yang mengakibatkan hilangnya daerah pemilihan,
daerah pemilihan tersebut dihapuskan.
(2) Alokasi kursi akibat hilangnya daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diperhitungkan kembali sesuai dengan jumlah Penduduk.
Pasal 29
(1) Jumlah kursi anggota DPRD kabupaten/kota yang dibentuk setelah Pemilu
ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Alokasi kursi pada daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak
12 (dua belas) kursi.
(3) Dalam hal terjadi pembentukan kabupaten/kota baru setelah Pemilu, dilakukan
penataan daerah pemilihan di kabupaten/kota induk sesuai dengan jumlah
penduduk berdasarkan alokasi kursi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
1
(4) Penataan daerah pemilihan di kabupaten/kota induk dan pembentukan daerah
pemilihan di kabupaten/kota baru dilakukan untuk Pemilu berikutnya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai alokasi kursi dan daerah pemilihan anggota
DPRD kabupaten/kota ditetapkan dalam peraturan KPU.
Bagian Keempat
Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan Anggota DPD
Pasal 30
Jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan 4 (empat).
Pasal 31
Daerah pemilihan untuk anggota DPD adalah provinsi.
BAB VI
PENYUSUNAN DAFTAR PEMILIH
Bagian Kesatu
Data Kependudukan
Pasal 32
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan data kependudukan.
(2) Data kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah tersedia
dan diserahkan kepada KPU paling lambat 12 (dua belas) bulan sebelum hari/
tanggal pemungutan suara.
Bagian Kedua
Daftar Pemilih
Pasal 33
(1) KPU kabupaten/kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan penyusunan
daftar pemilih.
(2) Daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat
nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat
Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak memilih.
(3) Dalam penyusunan daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU
kabupaten/kota dibantu oleh PPS.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan daftar pemilih diatur
dalam peraturan KPU.
1
Bagian Ketiga
Pemutakhiran Data Pemilih
Pasal 34
(1) KPU kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data pemilih berdasarkan data
kependudukan dari Pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Pemutakhiran data pemilih diselesaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah
diterimanya data kependudukan.
(3) Dalam pemutakhiran data pemilih, KPU kabupaten/kota dibantu oleh PPS dan
PPK.
(4) Hasil pemutakhiran data pemilih digunakan sebagai bahan penyusunan daftar
pemilih sementara.
Pasal 35
(1) Dalam pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(3), PPS dibantu oleh petugas pemutakhiran data pemilih yang terdiri atas
perangkat desa/kelurahan, rukun warga, rukun tetangga atau sebutan lain, dan
warga masyarakat.
(2) Petugas pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh PPS.
Bagian Keempat
Penyusunan Daftar Pemilih Sementara
Pasal 36
(1) Daftar pemilih sementara disusun oleh PPS berbasis rukun tetangga atau sebutan
lain.
(2) Daftar pemilih sementara disusun paling lambat 1 (satu) bulan sejak berakhirnya
pemutakhiran data pemilih.
(3) Daftar pemilih sementara diumumkan selama 7 (tujuh) hari oleh PPS untuk
mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat.
(4) Daftar pemilih sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), salinannya harus
diberikan oleh PPS kepada yang mewaklli Peserta Pemilu di tingkat desa/
kelurahan sebagai bahan untuk mendapatkan masukan dan tanggapan.
(5) Masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diterima PPS paling lama 14 (empat belas)
hari sejak hari pertama daftar pemilih sementara diumumkan.
1
(6) PPS wajib memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan masukan dan
tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu.
Pasal 37
(1) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 ayat (6) diumumkan kembali oleh PPS selama 3 (tiga) hari untuk mendapatkan
masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu.
(2) PPS wajib melakukan perbaikan terhadap daftar pemilih sementara hasil perbaikan
berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) hari setelah berakhirnya
pengumuman.
(3) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan akhir sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan oleh PPS kepada KPU kabupaten/kota melalui PPK untuk
menyusun daftar pemilih tetap.
(4) PPS harus memberikan salinan daftar pemilih sementara hasil perbaikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada yang mewakili Peserta Pemilu di
tingkat desa/kelurahan.
Bagian Kelima
Penyusunan Daftar Pemilih Tetap
Pasal 38
(1) KPU kabupaten/kota menetapkan daftar pemilih tetap berdasarkan daftar pemilih
sementara hasil perbaikan dari PPS.
(2) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan basis
TPS.
(3) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling
lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya daftar pemilih sementara hasil
perbaikan dari PPS.
(4) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
KPU kabupaten/kota kepada KPU, KPU provinsi, PPK, dan PPS.
(5) KPU kabupaten/kota harus memberikan salinan daftar pemilih tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Partai Politik Peserta Pemilu di tingkat kabupaten/
kota.
Pasal 39
(1) PPS mengumumkan daftar pemilih tetap sejak diterima dari KPU kabupaten/
kota sampai hari/tanggal pemungutan suara.
1
(2) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan KPPS dalam
melaksanakan pemungutan suara.
Pasal 40
(1) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dapat
dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
hari/tanggal pemungutan suara.
(2) Daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas data
pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPS, tetapi
karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di
TPS tempat yang bersangkutan terdaftar.
(3) Untuk dapat dimasukkan dalam daftar pemilih tambahan, seseorang harus
menunjukkan bukti identitas diri dan bukti yang bersangkutan telah terdaftar
sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap di TPS asal.
Bagian Keenam
Penyusunan Daftar Pemilih bagi Pemilih di Luar Negeri
Pasal 41
(1) Setiap Kepala Perwakilan Republik Indonesia menyediakan data penduduk Warga
Negara Indonesia dan data penduduk potensial pemilih Pemilu di negara
akreditasinya.
(2) PPLN menggunakan data penduduk potensial pemilih Pemilu untuk menyusun
daftar pemilih di luar negeri.
Pasal 42
(1) PPLN melakukan pemutakhiran data pemilih paling lama 3 (tiga) bulan setelah
diterimanya data penduduk Warga Negara Indonesia dan data penduduk potensial
pemilih Pemilu.
(2) Pemutakhiran data pemilih oleh PPLN dibantu petugas pemutakhiran data pemilih.
(3) Petugas pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri
atas pegawai Perwakilan Republik Indonesia dan warga masyarakat Indonesia di
negara yang bersangkutan.
(4) Petugas pemutakhiran data pemilih diangkat dan diberhentikan oleh PPLN.
Pasal 43
(1) PPLN menyusun daftar pemilih sementara.
1
(2) Penyusunan daftar pemilih sementara dilaksanakan paling lama 1 (satu) bulan
sejak berakhirnya pemutakhiran data pemilih.
(3) Daftar pemilih sementara diumumkan selama 7 (tujuh) hari oleh PPLN untuk
mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat.
(4) Masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diterima PPLN paling lama 7 (tujuh) hari sejak diumumkan.
(5) PPLN wajib memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan masukan dan
tanggapan dari masyarakat.
(6) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
digunakan PPLN untuk bahan penyusunan daftar pemilih tetap.
Pasal 44
(1) PPLN menetapkan daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6) menjadi daftar pemilih tetap.
(2) PPLN mengirim daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
KPU dengan tembusan kepada Kepala Perwakilan Republik Indonesia.
Pasal 45
(1) PPLN menyusun daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN berdasarkan daftar
pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1).
(2) Daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN digunakan KPPSLN dalam melaksanakan
pemungutan suara.
Pasal 46
(1) Daftar pemilih tetap dengan basis TPSLN sebagaimana dimaksud Pasal 45 ayat
(2) dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan sampai hari/tanggal
pemungutan suara.
(2) Daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas data
pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPSLN, tetapi
karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di
TPSLN tempat yang bersangkutan terdaftar.
Bagian Ketujuh
Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap
Pasal 47
(1) KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap di kabupaten/
kota.
1
(2) KPU provinsi melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap di provinsi.
(3) KPU melakukan rekapitulasi daftar pemilih tetap secara nasional.
Bagian Kedelapan
Pengawasan dan Penyelesaian Perselisihan dalam Pemutakhiran Data dan
Penetapan Daftar Pemilih
Pasal 48
(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan dan
Pengawas Pemilu Lapangan melakukan pengawasan atas pelaksanaan
pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih
sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil
perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih
tambahan, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang dilaksanakan oleh KPU,
KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK dan PPS.
(2) Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan
pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih
sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil
perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih
tambahan, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap luar negeri yang dilaksanakan
oleh PPLN.
Pasal 49
(1) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 menemukan unsur
kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota,
PPK, PPS dan PPLN yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak
pilih, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu
kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri
menyampaikan temuan kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota,
PPK, PPS dan PPLN.
(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS dan PPLN wajib
menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota,
Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar
Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
1
BAB VII
PENCALONAN ANGGOTA DPR, DPD, DPRD PROVINSI DAN DPRD KABUPATEN/KOTA
Bagian Kesatu
Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/
Kota
Pasal 50
(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus
memenuhi persyaratan:
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau
lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan
(MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h. sehat jasmani dan rohani;
i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada
badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan
lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan
dengan surat pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali;
I. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara,
notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan
penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta
pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
1
kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya,
pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah,
serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
o. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan
p. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.
(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. kartu tanda Penduduk Warga Negara Indonesia.
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau
surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program
pendidikan menengah.
c. surat keterangan catatan kepolisian tentang tidak tersangkut perkara pidana
dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang
ditandatangani di atas kertas bermaterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik,
advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak
melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan
keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik
kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang ditandatangani di atas kertas
bermeterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai
negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/
atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya
bersumber dari keuangan negara;
i. kartu tanda anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
j. surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) partai
politik untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas
bermaterai cukup;
1
k. surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan pada 1 (satu) daerah
pemilihan yang ditandatangani di atas kertas bermaterai cukup.
Bagian Kedua
Tata Cara Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota
Pasal 51
(1) Partai Politik Peserta Pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(2) Seleksi bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik.
Pasal 52
(1) Bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 disusun dalam daftar bakal
calon oleh partai politik masing-masing.
(2) Daftar bakal calon anggota DPR ditetapkan oleh pengurus Partai Politik Peserta
Pemilu tingkat pusat.
(3) Daftar bakal calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh pengurus Partai Politik
Peserta Pemilu tingkat provinsi.
(4) Daftar bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh pengurus Partai
Politik Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota.
Pasal 53
Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit
30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
Pasal 54
Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling banyak
120% (seratus dua puluh perseratus) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan.
Pasal 55
(1) Nama-nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal
54 disusun berdasarkan nomor urut.
(2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3
(tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan
bakal calon.
(3) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pas
1
foto diri terbaru.
Pasal 56
Daftar bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 diajukan kepada:
a. KPU untuk daftar bakal calon anggota DPR yang ditandatangani oleh ketua umum
dan sekretaris jenderal atau sebutan lain;
b. KPU provinsi untuk daftar bakal calon anggota DPRD provinsi yang ditandatangani
oleh ketua dan sekretaris atau sebutan lain;
c. KPU kabupaten/kota untuk daftar bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota
yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris atau sebutan lain.
Bagian Ketiga
Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi
dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 57
(1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen
persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap
terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan.
(2) KPU provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen
persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi dan verifikasi
terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan.
(3) KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran
dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota
dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
perseratus) keterwakilan perempuan.
Pasal 58
(1) Dalam hal kelengkapan dokumen persyaratan administrasi bakal calon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 tidak terpenuhi, KPU, KPU provinsi, dan
KPU kabupaten/kota mengembalikan dokumen persyaratan administrasi bakal
calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada Partai
Politik Peserta Pemilu.
1
(2) Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
perseratus) keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/
kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar
bakal calon tersebut.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses verifikasi bakal calon anggota DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan KPU.
Pasal 59
(1) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota meminta kepada partai politik untuk
mengajukan bakal calon baru anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota sebagai pengganti bakal calon yang terbukti memalsukan atau menggunakan
dokumen palsu.
(2) Partai politik mengajukan nama bakal calon baru sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lama 7 (tujuh) hari sejak surat permintaan dari KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota diterima oleh partai politik.
(3) Partai Politik Peserta Pemilu yang bersangkutan tidak dapat mengajukan bakal
calon pengganti apabila putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum
tetap membuktikan terjadinya pemalsuan atau penggunaan dokumen palsu
tersebut dikeluarkan setelah ditetapkannya daftar calon tetap oleh KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(4) KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten kota melakukan verifikasi terhadap
kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon
anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
Bagian Keempat
Pengawasan atas Verifikasi Kelengkapan Administrasi
Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 60
(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, melakukan pengawasan
atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dilakukan oleh KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota.
(2) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menemukan unsur
kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/
kota sehingga merugikan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota, maka Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/
1
kota menyampaikan temuan kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/
kota.
(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti temuan
Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Bagian Kelima
Penyusunan Daftar Calon Sementara Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota
Pasal 61
(1) Bakal calon yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 disusun
dalam daftar calon sementara oleh:
a. KPU untuk daftar calon sementara anggota DPR.
b. KPU provinsi untuk daftar calon sementara anggota DPRD provinsi.
c. KPU kabupaten/kota untuk daftar calon sementara anggota DPRD
kabupaten/kota.
(2) Daftar calon sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani
oleh ketua dan anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(3) Daftar calon sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
berdasarkan nomor urut dan dilengkapi dengan pas foto diri terbaru.
(4) Daftar calon sementara anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota sekurang-kurangnya pada 1 (satu) media massa cetak
harian dan media massa elektronik nasional dan 1 (satu) media massa cetak
harian dan media massa elektronik daerah serta sarana pengumuman lainnya
selama 5 (lima) hari.
(5) Masukan dan tanggapan dari masyarakat disampaikan kepada KPU, KPU provinsi,
atau KPU kabupaten/kota paling lama 10 (sepuluh) hari sejak daftar calon
sementara diumumkan.
(6) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase
keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik
nasional.
Pasal 62
(1) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota meminta klarifikasi kepada partai
1
politik atas masukan dan tanggapan dari masyarakat.
(2) Pimpinan partai politik harus memberikan kesempatan kepada calon yang
bersangkutan untuk mengklarifikasi masukan dan tanggapan dari masyarakat.
(3) Pimpinan partai politik menyampaikan hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) secara tertulis kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/
kota.
(4) Dalam hal hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyatakan
bahwa calon sementara tersebut tidak memenuhi syarat, KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota memberitahukan dan memberikan kesempatan kepada
partai politik untuk mengajukan pengganti calon dan daftar calon sementara
hasil perbaikan.
(5) Pengajuan pengganti calon dan daftar calon sementara hasil perbaikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 7 (tujuh) hari setelah surat
pemberitahuan dari KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota diterima oleh
partai politik.
(6) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap
kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi pengganti calon
anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(7) Dalam hal partai politik tidak mengajukan pengganti calon dan daftar calon
sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), urutan nama
dalam daftar calon sementara diubah oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/
kota sesuai dengan urutan berikutnya.
Pasal 63
Dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi pemalsuan dokumen atau penggunaan
dokumen palsu dalam persyaratan administrasi bakal calon dan/atau calon anggota
DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, maka KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk
dilakukan proses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 64
Dalam hal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang
menyatakan tidak terbukti adanya pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen
palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dibacakan setelah KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota, putusan tersebut tidak memengaruhi daftar calon tetap.
1
Bagian Keenam
Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap
Anggota DPR dan DPRD
Pasal 65
(1) KPU menetapkan daftar calon tetap anggota DPR.
(2) KPU provinsi menetapkan daftar calon tetap anggota DPRD provinsi.
(3) KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota DPRD kabupaten/
kota.
(4) Daftar calon tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
disusun berdasarkan nomor urut dan dilengkapi dengan pas foto diri terbaru.
Pasal 66
(1) Daftar calon tetap anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 diumumkan oleh KPU, KPU provinsi, dan
KPU kabupaten/kota.
(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase
keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masing-masing
pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU.
Bagian Ketujuh
Tata Cara Pendaftaran Bakal Calon Anggota DPD
Pasal 67
(1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota DPD kepada
KPU melalui KPU provinsi.
(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuktikan dengan:
a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia;
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau
surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program
pendidikan menengah;
c. surat keterangan catatan kepolisian tentang tidak tersangkut perkara pidana
dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat;
1
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang
ditandatangani di atas kertas bermaterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik,
advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang
berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat
menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai
anggota DPD yang ditandatangani di atas kertas bermaterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai
negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/
atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya
bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah; dan
i. surat penyataan tentang kesediaan hanya mencalonkan untuk 1 (satu) lembaga
perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.
Bagian Kedelapan
Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Calon Anggota DPD
Pasal 68
(1) KPU melakukan verifikasi kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan bakal
calon anggota DPD.
(2) KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota membantu pelaksanaan verifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 69
(1) Persyaratan dukungan minimal pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) dibuktikan dengan daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan atau
cap jempol dan dilengkapi fotokopi kartu tanda Penduduk setiap pendukung.
(2) Seorang pemilih tidak dibolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari 1
(satu) orang bakal calon anggota DPD.
(3) Dalam hal ditemukan bukti adanya data palsu atau data yang sengaja digandakan
oleh bakal calon anggota DPD terkait dengan dokumen persyaratan dukungan
minimal pemilih, bakal calon anggota DPD dikenai pengurangan jumlah dukungan
minimal pemilih sebanyak 50 (lima puluh) kali temuan bukti data palsu atau
1
data yang digandakan.
Bagian Kesembilan
Pengawasan atas Verifikasi Kelengkapan Administrasi Calon Anggota DPD
Pasal 70
(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan
atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan persyaratan administrasi bakal calon
anggota DPD yang dilakukan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(2) Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menemukan unsur
kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/
kota sehingga merugikan bakal calon anggota DPD, maka Bawaslu, Panwaslu
provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota menyampaikan temuan kepada KPU,
KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti temuan
Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Bagian Kesepuluh
Penetapan Daftar Calon Sementara Anggota DPD
Pasal 71
(1) KPU menetapkan daftar calon sementara anggota DPD.
(2) Daftar calon sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani
oleh ketua dan anggota KPU.
(3) Daftar calon sementara anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diumumkan oleh KPU sekurang-kurangnya pada 1 (satu) media massa cetak
harian dan media massa elektronik nasional dan 1 (satu) madia massa cetak
harian dan media massa elektronik daerah serta sarana pengumuman lainnya
untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat
(4) Masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan kepada KPU paling lama 10 (sepuluh) hari sejak daftar calon
sementara diumumkan.
Pasal 72
(1) Masukan dan tanggapan dari masyarakat untuk perbaikan daftar calon sementara
anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) disampaikan secara
tertulis kepada KPU dengan disertai bukti identitas diri.
1
(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meminta klarifikasi kepada bakal calon anggota DPD atas masukan dan
tanggapan dari masyarakat.
Pasal 73
Dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi pemalsuan dokumen atau penggunaan
dokumen palsu dalam persyaratan administrasi bakal calon dan/atau calon anggota
DPD, maka KPU dan KPU provinsi berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik
Indonesia untuk dilakukan proses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 74
Dalam hal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang
menyatakan tidak terbukti adanya pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen
palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dibacakan setelah KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota DPD, putusan
tersebut tidak memengaruhi daftar calon tetap.
Bagian Kesebelas
Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap Anggota DPD
Pasal 75
(1) Daftar calon tetap anggota DPD ditetapkan oleh KPU.
(2) Daftar calon tetap anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
berdasarkan abjad dan dilengkapi dengan pas foto diri terbaru.
(3) Daftar calon tetap anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan
oleh KPU.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota DPD
ditetapkan oleh KPU.
BAB VIII
KAMPANYE
Bagian Kesatu
Kampanye Pemilu
Pasal 76
Kampanye Pemilu diiakukan dengan prinsip bertanggung jawab dan merupakan bagian
dari pendidikan politik masyarakat.
1
Pasal 77
(1) Kampanye Pemilu dilaksanakan oleh pelaksana kampanye.
(2) Kampanye Pemilu diikuti oleh peserta kampanye.
(3) Kampanye Pemilu didukung oleh petugas kampanye.
Pasal 78
(1) Pelaksana kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/
kota terdiri atas pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPRD provinsi,
DPRD kabupaten/kota, juru kampanye, orang-seorang, dan organisasi yang
ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota.
(2) Pelaksana kampanye Pemilu anggota DPD terdiri atas calon anggota DPD, orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota DPD.
(3) Peserta kampanye terdiri atas anggota masyarakat.
(4) Petugas kampanye terdiri atas seluruh petugas yang memfasilitasi pelaksanaan
kampanye.
Pasal 79
(1) Pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 harus didaftarkan
pada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
(2) Pendaftaran pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditembuskan kepada Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota.
Bagian Kedua
Materi Kampanye
Pasal 80
(1) Materi kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon
anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota
meliputi visi, misi, dan program partai politik.
(2) Materi kampanye Perseorangan Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon
anggota DPD meliputi visi, misi, dan program yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Metode Kampanye
Pasal 81
Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dapat dilakukan melalui:
1
a. pertemuan terbatas;
b. pertemuan tatap muka;
c. media massa cetak dan media massa elektronik;
d. penyebaran bahan kampanye kepada umum;
e. pemasangan alat peraga di tempat umum;
f. rapat umum; dan
g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 82
(1) Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf a sampai dengan
huruf e dilaksanakan sejak 3 (tiga) hari setelah calon Peserta Pemilu ditetapkan
sebagai Peserta Pemilu sampai dengan dimulainya masa tenang.
(2) Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf f dilaksanakan
selama 21 (dua puluh satu) hari dan berakhir sampai dengan dimulainya masa
tenang.
(3) Masa tenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlangsung
selama 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
Pasal 83
(1) Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan kampanye Pemilu secara nasional
diatur dengan peraturan KPU.
(2) Waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye Pemilu anggota DPR dan
DPD ditetapkan dengan keputusan KPU setelah KPU berkoordinasi dengan Peserta
Pemilu.
(3) Waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye Pemilu anggota DPRD
provinsi ditetapkan dengan keputusan KPU provinsi setelah KPU provinsi
berkoordinasi dengan Peserta Pemilu.
(4) Waktu, tanggal, dan tempat pelaksanaan kampanye Pemilu anggota DPRD
kabupaten/kota ditetapkan dengan keputusan KPU kabupaten/kota setelah KPU
kabupaten/kota berkoordinasi dengan Peserta Pemilu.
Bagian Keempat
Larangan dalam Kampanye
Pasal 84
1
(1) Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang:
a. mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau Peserta
Pemilu yang lain;
d. menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat;
e. mengganggu ketertiban umum;
f. mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan
kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau
Peserta Pemilu yang lain;
g. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu;
h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan;
i. membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain dari
tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan; dan
j. menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta
kampanye.
(2) Pelaksana kampanye dalam kegiatan kampanye dilarang mengikutsertakan:
a. Ketua, Wakil Ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan
hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim
konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
c. Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia;
d. pejabat Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah;
e. pegawai negeri sipil;
f. anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
g. kepala desa;
h. perangkat desa;
i. anggota badan permusyaratan desa; dan
j. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.
1
(3) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf
i dilarang ikut serta sebagai pelaksana kampanye.
(4) Sebagai peserta kampanye, pegawai negeri sipil dilarang menggunakan atribut
partai atau atribut pegawai negeri sipil.
(5) Sebagai peserta kampanye, pegawai negeri sipil dilarang mengerahkan pegawai
negeri sipil di lingkungan kerjanya dan dilarang menggunakan fasilitas negara.
(6) Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf f, huruf
g, huruf i, dan huruf j, ayat (2), dan ayat (5) merupakan tindak pidana Pemilu.
Pasal 85
(1) Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, menteri,
gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota
harus memenuhi ketentuan:
a. tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya, kecuali fasilitas
pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan; dan
b. menjalani cuti di luar tanggungan negara.
(2) Cuti dan jadwal cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan
dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan pejabat negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan KPU.
Bagian Kelima
Sanksi atas Pelanggaran Larangan Kampanye
Pasal 86
Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup atas adanya pelanggaran larangan
kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2) oleh pelaksana
dan peserta kampanye, maka KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupen/kota menjatuhkan
sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 87
Dalam hal terbukti pelaksana kampanye menjanjikan atau memberikan uang atau
materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun
tidak langsung agar:
a. tidak menggunakan hak pilihnya;
1
b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu
sehingga surat suaranya tidak sah;
c. memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu;
d. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu;
atau
e. memilih calon anggota DPD tertentu,
dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 88
Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap
pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 yang dikenai kepada pelaksana
kampanye yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/
kota, dan DPD digunakan sebagai dasar KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
untuk mengambil tindakan berupa:
a. pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota dari daftar calon tetap; atau
b. pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sebagai calon terpilih.
Bagian Keenam
Pemberitaan, Penyiaran, dan Iklan Kampanye
Paragraf 1
Umum
Pasal 89
(1) Pemberitaan, penyiaran, dan ikian kampanye dapat dilakukan melalui media
massa cetak dan lembaga penyiaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemberitaan, penyiaran, dan ikian kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan dalam rangka penyampaian pesan kampanye Pemilu oleh Peserta
Pemilu kepada masyarakat.
(3) Pesan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa tulisan,
suara, gambar, tulisan dan gambar, atau suara dan gambar, yang bersifat naratif,
gratis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta yang dapat diterima
melalui perangkat penerima pesan.
(4) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dalam memberitakan, menyiarkan,
dan mengiklankan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
1
mematuhi larangan dalam kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84.
(5) Media massa cetak dan lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
selama masa tenang dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak Peserta
Pemilu, atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan kampanye yang
menguntungkan atau merugikan Peserta Pemilu.
Pasal 90
(1) Lembaga penyiaran publik Televisi Republik Indonesia (TVRI), lembaga penyiaran
publik Radio Republik Indonesia (RRI), lembaga penyiaran publik lokal, lembaga
penyiaran swasta, dan lembaga penyiaran berlangganan memberikan alokasi
waktu yang sama dan memperlakukan secara berimbang Peserta Pemilu untuk
menyampaikan materi kampanye.
(2) Lembaga penyiaran komunitas dapat menyiarkan proses Pemilu sebagai bentuk
layanan kepada masyarakat, tetapi tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan
kampanye bagi Peserta Pemilu.
(3) Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia menetapkan standar
biaya dan persyaratan iklan kampanye yang sama kepada Peserta Pemilu.
Paragraf 2
Pemberitaan Kampanye
Pasal 91
(1) Pemberitaan kampanye dilakukan oleh lembaga penyiaran dengan cara siaran
langsung atau siaran tunda dan oleh media massa cetak.
(2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran yang menyediakan rubrik khusus
untuk pemberitaan kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada seluruh
Peserta Pemilu.
Paragraf 3
Penyiaran Kampanye
Pasal 92
(1) Penyiaran kampanye dilakukan oleh lembaga penyiaran dalam bentuk siaran
monolog, dialog yang melibatkan suara dan/atau gambar pemirsa atau suara
pendengar, debat Peserta Pemilu, serta jajak pendapat.
(2) Pemilihan narasumber, tema dan moderator, serta tata cara penyelenggaraan
siaran monolog, dialog, dan debat diatur oleh lembaga penyiaran.
(3) Narasumber penyiaran monolog, dialog, dan debat harus mematuhi larangan
dalam kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84.
1
(4) Siaran monolog, dialog, dan debat yang diselenggarakan oleh lembaga penyiaran
dapat melibatkan masyarakat melalui telepon, layanan pesan singkat, surat
elektronik (e-mail), dan/atau faksimile.
Paragraf 4
Iklan Kampanye
Pasal 93
(1) Iklan kampanye Pemilu dapat dilakukan oleh Peserta Pemilu pada media massa
cetak dan/atau lembaga penyiaran dalam bentuk iklan komersial dan/atau iklan
layanan masyarakat.
(2) Iklan kampanye Pemilu dilarang berisikan hal yang dapat mengganggu
kenyamanan pembaca, pendengar, dan/atau pemirsa.
(3) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib memberikan kesempatan yang
sama kepada Peserta Pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan kampanye.
(4) Pengaturan dan penjadwalan pemuatan dan penayangan iklan kampanye Pemilu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh media massa cetak dan
lembaga penyiaran.
Pasal 94
(1) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menjual blocking segment
atau blocking time untuk kampanye Pemilu.
(2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menerima program sponsor
dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan sebagai iklan
kampanye Pemilu.
(3) Media massa cetak, lembaga penyiaran, dan Peserta Pemilu dilarang menjual
spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh salah satu Peserta Pemilu kepada Peserta
Pemilu yang lain.
Pasal 95
(1) Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di televisi untuk setiap
Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling
lama 30 (tiga puluh) detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari selama masa
kampanye.
(2) Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di radio untuk setiap
Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling
lama 60 (enam puluh) detik untuk setiap stasiun radio setiap hari selama masa
kampanye.
1
(3) Batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) adalah untuk semua jenis iklan.
(4) Pengaturan dan penjadwalan pemasangan iklan kampanye Pemilu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) untuk setiap Peserta Pemilu diatur sepenuhnya oleh
lembaga penyiaran dengan kewajiban memberikan kesempatan yang sama
kepada setiap Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3).
Pasal 96
(1) Media massa cetak dan lembaga penyiaran melakukan iklan kampanye Pemilu
dalam bentuk iklan kampanye Pemilu komersial atau iklan kampanye Pemilu
layanan masyarakat dengan mematuhi kode etik periklanan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib menentukan standar tarif iklan
kampanye Pemilu komersial yang berlaku sama untuk setiap Peserta Pemilu.
(3) Tarif iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat harus lebih rendah daripada
tarif iklan kampanye Pemilu komersial.
(4) Media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib menyiarkan iklan kampanye
Pemilu layanan masyarakat non-partisan paling sedikit satu kali dalam sehari
dengan durasi 60 (enam puluh) detik.
(5) Iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dapat diproduksi sendiri oleh media massa cetak dan lembaga penyiaran
atau dibuat oleh pihak lain.
(6) Penetapan dan penyiaran iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat yang
diproduksi oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh
media massa cetak dan lembaga penyiaran.
(7) Jumlah waktu tayang iklan kampanye Pemilu layanan masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk jumlah kumulatif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Pasal 97
Media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk
pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi Peserta
Pemilu.
Pasal 98
(1) Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers melakukan pengawasan atas
pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye Pemilu yang dilakukan oleh lembaga
penyiaran atau oleh media massa cetak.
1
(2) Dalam hal terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan dalam Pasal 93, Pasal 94,
Pasal 95, Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(3) Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada
KPU dan KPU provinsi.
(4) Dalam hal Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers tidak menjatuhkan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak
ditemukan bukti pelanggaran kampanye, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/
kota menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye.
Pasal 99
(1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian sementara mata acara yang bermasalah;
c. pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye
Pemilu;
d. denda;
e. pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu
untuk waktu tertentu; atau
f. pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan
media massa cetak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan
Pers bersama KPU.
Pasal 100
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberitaan, penyiaran, iklan kampanye, dan
pemberian sanksi diatur dengan peraturan KPU.
Bagian Ketujuh
Pemasangan Alat Peraga Kampanye
Pasal 101
(1) KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN berkoordinasi dengan
pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan,
desa/kelurahan, dan kantor perwakilan Republik Indonesia untuk menetapkan
lokasi pemasangan alat peraga untuk keperluan kampanye Pemilu.
1
(2) Pemasangan alat peraga kampanye Pemilu oleh pelaksana kampanye sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika,
kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pemasangan alat peraga kampanye Pemilu pada tempat yang menjadi milik
perseorangan atau badan swasta harus dengan izin pemilik tempat tersebut.
(4) Alat peraga kampanye Pemilu harus sudah dibersihkan oleh Peserta Pemilu paling
lambat 1 (satu) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasangan dan pembersihan alat peraga
kampanye diatur dalam peraturan KPU.
Bagian Kedelapan
Peranan Pemerintah, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam Kampanye
Pasal 102
(1) Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, kecamatan,
dan desa/kelurahan memberikan kesempatan yang sama kepada pelaksana
kampanye dalam penggunaan fasilitas umum untuk penyampaian materi
kampanye.
(2) Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan,
desa/kelurahan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dilarang melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan
salah satu pelaksana kampanye.
Bagian Kesembilan
Pengawasan atas Pelaksanaan Kampanye Pemilu
Pasal 103
Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan,
Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan
atas pelaksanaan kampanye Pemilu.
Pasal 104
(1) Pengawas Pemilu Lapangan melakukan pengawasan atas pelaksanaan
kampanye di tingkat desa/kelurahan.
(2) Pengawas Pemilu Lapangan menerima laporan dugaan adanya pelanggaran
pelaksanaan kampanye di tingkat desa/kelurahan yang dilakukan oleh PPS,
pelaksana kampanye, peserta kampanye, dan petugas kampanye.
1
Pasal 105
(1) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa PPS dengan sengaja
melakukan atau lalai dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan
terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu di tingkat desa/kelurahan, Pengawas
Pemilu Lapangan menyampaikan laporan kepada Panwaslu kecamatan.
(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana kampanye,
peserta kampanye, atau petugas kampanye dengan sengaja melakukan atau
lalai dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan terganggunya
pelaksanaan kampanye Pemilu di tingkat desa/kelurahan, Pengawas Pemilu
Lapangan menyampaikan laporan kepada PPS.
Pasal 106
(1) PPS wajib menindaklanjuti temuan dan laporan tentang dugaan kesengajaan
atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye di tingkat desa/kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) dengan melakukan:
a. penghentian pelaksanaan kampanye Peserta Pemilu yang bersangkutan yang
terjadwal pada hari itu;
b. pelaporan kepada PPK dalam hal ditemukan bukti permulaan yang cukup
tentang adanya tindak pidana Pemilu terkait dengan pelaksanaan kampanye;
c. pelarangan kepada pelaksana kampanye untuk melaksanakan kampanye
berikutnya; dan
d. pelarangan kepada peserta kampanye untuk mengikuti kampanye
berikutnya.
(2) PPK menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan
melakukan tindakan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 107
Dalam hal ditemukan dugaan bahwa pelaksana kampanye, peserta kampanye, dan
petugas kampanye dengan sengaja atau lalai yang mengakibatkan terganggunya
pelaksanaan kampanye Pemilu di tingkat desa/kelurahan dikenai tindakan hukum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 108
(1) Panwaslu kecamatan wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 105 ayat (1) dengan melaporkan kepada PPK.
(2) PPK wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
meneruskan kepada KPU kabupaten/kota.
1
(3) KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dengan memberikan sanksi administratif kepada PPS.
Pasal 109
(1) Panwaslu kecamatan melakukan pengawasan atas pelaksanaan kampanye di
tingkat Kecamatan.
(2) Panwaslu kecamatan menerima laporan dugaan pelanggaran pelaksanaan
kampanye di tingkat kecamatan yang dilakukan oleh PPK, pelaksana kampanye,
peserta kampanye, dan petugas kampanye.
Pasal 110
(1) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa PPK melakukan
kesengajaan atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan
terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu di tingkat kecamatan, Panwaslu
kecamatan menyampaikan laporan kepada Panwaslu kabupaten/kota.
(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana kampanye,
peserta kampanye atau petugas kampanye melakukan kesengajaan atau kelalaian
dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan
kampanye Pemilu di tingkat kecamatan, Panwaslu kecamatan menyampaikan
laporan kepada Panwaslu kabupaten/kota dan menyampaikan temuan kepada
PPK.
Pasal 111
(1) PPK wajib menindaklanjuti temuan dan laporan tentang dugaan kesengajaan
atau kelalaian dalam pelaksanaan kampanye di tingkat kecamatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) dengan melakukan:
a. penghentian pelaksanaan kampanye Peserta Pemilu yang bersangkutan yang
terjadwal pada hari itu;
b. pelaporan kepada KPU kabupaten/kota dalam hal ditemukan bukti permulaan
yang cukup adanya tindak pidana Pemilu terkait dengan pelaksanaan
kampanye;
c. pelarangan kepada pelaksana kampanye untuk melaksanakan kampanye
berikutnya; dan/atau
d. pelarangan kepada peserta kampanye untuk mengikuti kampanye berikutnya.
(2) KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dengan melakukan tindakan hukum sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
1
Pasal 112
(1) Panwaslu kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 110 ayat (1) dengan melaporkan kepada KPU kabupaten/kota.
(2) KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dengan memberikan sanksi administratif kepada PPK.
Pasal 113
(1) Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan pelaksanaan kampanye di
tingkat kabupaten/kota, terhadap:
a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian anggota KPU kabupaten/
kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota melakukan
tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan
terganggunya kampanye yang sedang berlangsung; atau
b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian pelaksana kampanye,
peserta kampanye dan petugas kampanye melakukan tindak pidana Pemilu
atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya kampanye
yang sedang berlangsung.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panwaslu
kabupaten/kota:
a. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap ketentuan pelaksanaan
kampanye Pemilu;
b. menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran kampanye Pemilu yang tidak
mengandung unsur pidana;
c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU kabupaten/kota tentang
pelanggaran kampanye Pemilu untuk ditindaklanjuti;
d. meneruskan temuan dan laporan tentang pelanggaran tindak pidana Pemilu
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;
e. menyampaikan laporan dugaan adanya tindakan yang mengakibatkan
terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU kabupaten/
kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota kepada Bawaslu;
dan/atau
f. mengawasi pelaksanaan rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi
kepada anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat
KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan
terganggunya kampanye yang sedang berlangsung.
1
Pasal 114
(1) Panwaslu kabupaten/kota menyelesaikan laporan dugaan pelanggaran
administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) huruf a, pada hari yang sama dengan
diterimanya laporan.
(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran administratif
oleh pelaksana dan peserta kampanye di tingkat kabupaten/kota, Panwaslu
kabupaten/kota menyampaikan temuan dan laporan tersebut kepada KPU
kabupaten/kota.
(3) KPU kabupaten/kota menetapkan penyelesaian laporan dan temuan yang
mengandung bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran administratif oleh
pelaksana dan peserta kampanye pada hari diterimanya laporan.
(4) Dalam hal Panwaslu kabupaten/kota menerima laporan dugaan pelanggaran
administratif terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota
KPU kabupaten/kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota,
Panwaslu kabupaten/kota meneruskan laporan tersebut kepada Bawaslu.
Pasal 115
(1) KPU bersama Bawaslu dapat menetapkan sanksi tambahan terhadap pelanggaran
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) selain yang diatur
dalam Undang-Undang ini.
(2) Sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasai
114 ayat (4) selain yang diatur dalam Undang-Undang ini, ditetapkan dalam
kode etik yang disusun secara bersama oleh KPU dan Bawaslu sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 116
Dalam hal Panwaslu kabupaten/kota menerima laporan dugaan adanya tindak
pidana dalam pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU kabupaten/kota,
sekretaris dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota, pelaksana dan peserta
kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113, Panwaslu kabupaten/kota
melakukan:
a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu dimaksud kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau
b. pelaporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi
Bawaslu tentang sanksi.
1
Pasal 117
Panwaslu kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut
rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
116.
Pasal 118
(1) Panwaslu provinsi melakukan pengawasan pelaksanaan kampanye di tingkat
provinsi, terhadap:
a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian anggota KPU provinsi,
sekretaris dan pegawai sekretariat KPU provinsi melakukan tindak pidana
Pemilu atau pelanggaran administratif yang mehgakibatkan terganggunya
kampanye yang sedang berlangsung; atau
b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian pelaksana kampanye,
peserta kampanye dan petugas kampanye melakukan tindak pidana Pemilu
atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya kampanye
yang sedang berlangsung.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panwaslu
provinsi:
a. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap ketentuan pelaksanaan
kampanye Pemilu;
b. menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran kampanye Pemilu yang tidak
mengandung unsur pidana;
c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU provinsi tentang pelanggaran
kampanye Pemilu untuk ditindaklanjuti;
d. meneruskan temuan dan laporan tentang pelanggaran tindak pidana Pemilu
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;
e. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan
rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan dugaan adanya tindak pidana
Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya
pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU provinsi, sekretaris dan
pegawai sekretariat KPU provinsi; dan/atau
f. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang
pengenaan sanksi kepada anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai
sekretariat KPU provinsi yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu atau
administratif yang mengakibatkan terganggunya kampanye yang sedang
berlangsung.
1
Pasal 119
(1) Panwaslu provinsi menyelesaikan laporan dugaan pelanggaran administratif
terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 118 ayat (2) huruf a pada hari yang sama dengan diterimanya laporan.
(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran administratif
oleh pelaksana dan peserta kampanye di tingkat provinsi, Panwaslu provinsi
menyampaikan temuan dan laporan tersebut kepada KPU provinsi.
(3) KPU provinsi menetapkan penyelesaian laporan dan temuan yang mengandung
bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran administratif oleh pelaksana
dan peserta kampanye pada hari diterimanya laporan.
(4) Dalam hal Panwaslu provinsi menerima laporan dugaan pelanggaran administratif
terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU provinsi,
sekretaris dan pegawai sekretariat KPU provinsi, Panwaslu provinsi meneruskan
laporan tersebut kepada Bawaslu.
Pasal 120
(1) KPU bersama Bawaslu dapat menetapkan sanksi tambahan terhadap pelanggaran
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1) selain yang diatur
dalam Undang-Undang ini.
(2) Sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
119 ayat (4) selain yang diatur dalam Undang-Undang ini ditetapkan dalam kode
etik yang disusun secara bersama oleh KPU dan Bawaslu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 121
Dalam hal Panwaslu provinsi menerima laporan dugaan adanya tindak pidana dalam
pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU provinsi, sekretaris dan pegawai
sekretariat KPU provinsi, pelaksana dan peserta kampanye sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 119, Panwaslu provinsi melakukan:
a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu dimaksud kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau
b. pelaporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi
Bawaslu tentang sanksi.
Pasal 122
Panwaslu provinsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut
rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
1
Pasal 120.
Pasal 123
(1) Bawaslu melakukan pengawasan pelaksanaan tahapan kampanye secara nasional,
terhadap:
a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi,
KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Seretariat Jenderal
KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris
KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota melakukan
tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan
terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu yang sedang berlangsung; atau
b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian pelaksana kampanye,
peserta kampanye, dan petugas kampanye melakukan tindak pidana Pemilu
atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya
pelaksanaan kampanye Pemilu yang sedang berlangsung.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bawaslu:
a. menerima laporan dugaan adanya pelanggaran terhadap ketentuan
pelaksanaan kampanye Pemilu;
b. menyelesaikan temuan dan laporan adanya pelanggaran kampanye Pemilu
yang tidak mengandung unsur pidana;
c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU tentang adanya pelanggaran
kampanye Pemilu untuk ditindaklanjuti;
d. meneruskan temuan dan laporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;
e. memberikan rekomendasi kepada KPU tentang dugaan adanya tindakan yang
mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota
KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai
Seretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU
provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU
kabupaten/kota berdasarkan laporan Panwaslu provinsi dan Panwaslu
kabupaten/kota; dan/atau
f. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi pengenaan sanksi kepada
anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU,
pegawai Seretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat
KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU
kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan
terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu yang sedang berlangsung.
1
Pasal 124
(1) Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan adanya pelanggaran administratif
terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 123 ayat (2) huruf a, Bawaslu menetapkan penyelesaian pada hari yang
sama diterimanya laporan.
(2) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup tentang dugaan adanya
pelanggaran administratif oleh pelaksana dan peserta kampanye di tingkat pusat,
Bawaslu menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU.
(3) Dalam hal KPU menerima laporan dan temuan yang mengandung bukti permulaan
yang cukup tentang dugaan adanya pelanggaran administratif oleh pelaksana
dan peserta kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPU langsung
menetapkan penyelesaian pada hari yang sama dengan hari diterimanya laporan.
(4) Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan pelanggaran administratif terhadap
ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU
kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU,
sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU
kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota, maka Bawaslu
memberikan rekomendasi kepada KPU untuk memberikan sanksi.
Pasal 125
(1) Sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
124 ayat (3) selain yang diatur dalam Undang-Undang ini ditetapkan oleh KPU
bersama Bawaslu.
(2) Sanksi terhadap pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
124 ayat (4) selain yang diatur dalam Undang-Undang ini ditetapkan dalam kode
etik yang disusun secara bersama oleh KPU dan Bawaslu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 126
Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan adanya tindak pidana Pemilu yang
dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal
KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat
KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/
kota, pelaksana dan peserta kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat
(1), dalam pelaksanaan kampanye Pemilu Bawaslu melakukan:
a. pelaporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu dimaksud kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau
b. pemberian rekomendasi kepada KPU untuk menetapkan sanksi.
1
Pasal 127
Bawaslu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi
Bawaslu tentang pengenaan sanksi penonaktifan sementara dan/atau sanksi
administratif kepada anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris
Jenderal, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai
sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat
KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran
administratif yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye yang sedang
berlangsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126.
Pasal 128
Pengawasan oleh Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota serta
tindak lanjut KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota terhadap temuan atau
laporan yang diterima tidak memengaruhi jadwal pelaksanaan kampanye
sebagaimana yang telah ditetapkan.
Bagian Kesepuluh
Dana Kampanye Pemilu
Pasal 129
(1) Kegiatan kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota didanai dan menjadi tanggung jawab Partai Politik Peserta Pemilu masing-masing.
(2) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
a. partai politik;
b. calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari partai
politik yang bersangkutan; dan
c. sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.
(3) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa uang,
barang, dan/atau jasa.
(4) Dana kampanye Pemilu berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditempatkan pada rekening khusus dana kampanye Partai Politik Peserta Pemilu
pada bank.
(5) Dana kampanye Pemilu berupa sumbangan dalam bentuk barang dan/atau jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat berdasarkan harga pasar yang
wajar pada saat sumbangan itu diterima.
(6) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam
1
pembukuan penerimaan dan pengeluaran khusus dana kampanye Pemilu yang
terpisah dari pembukuan keuangan partai politik.
(7) Pembukuan dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dimulai
sejak 3 (tiga) hari setelah partai politik ditetapkan sebagai Peserta Pemilu dan
ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan penerimaan dan
pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU.
Pasal 130
Dana kampanye Pemilu yang bersumber dari sumbangan pihak lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf c bersifat tidak mengikat dan dapat berasal
dari perseorangan, kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah.
Pasal 131
(1) Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf c tidak boleh melebihi
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok,
perusahan, dan/atau badan usaha non pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 129 ayat (2) huruf c tidak boleh melebihi Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
(3) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
mencantumkan identitas yang jelas.
Pasal 132
(1) Kegiatan kampanye Pemilu anggota DPD didanai dan menjadi tanggung jawab
calon anggota DPD masing-masing.
(2) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari
a. calon anggota DPD yang bersangkutan; dan
b. sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain.
(3) Dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa uang, barang
dan/atau jasa.
(4) Dana kampanye Pemilu berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditempatkan pada rekening khusus dana kampanye Pemilu calon anggota DPD
yang bersangkutan pada bank.
(5) Dana kampanye Pemiiu berupa sumbangan dalam bentuk barang dan/atau jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat berdasarkan harga pasar yang
wajar pada saat sumbangan itu diterima.
1
(6) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam
pembukuan penerimaan dan pengeluaran khusus dana kampanye Pemilu yang
terpisah dari pembukuan keuangan pribadi calon anggota DPD yang bersangkutan.
(7) Pembukuan dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dimulai
sejak 3 (tiga) hari setelah calon anggota DPD ditetapkan sebagai Peserta Pemilu
dan ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan penerimaan dan
pengeluaran dana kampanye Pemilu kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk
KPU.
Pasal 133
(1) Dana kampanye Pemilu calon anggota DPD yang berasal dari sumbangan pihak
lain perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) huruf b tidak
boleh melebihi Rp.250.000.000.00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Dana kampanye Pemilu calon anggota DPD yang berasal dari sumbangan pihak
lain kelompok, perusahan dan/atau badan usaha non pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) huruf b tidak boleh melebihi Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
mencantumkan identitas yang jelas.
Pasal 134
(1) Partai Politik Peserta Pemilu sesuai dengan tingkatannya memberikan laporan
awal dana kampanye Pemilu dan rekening khusus dana kampanye kepada KPU,
KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum
hari pertama jadwal pelaksanaan kampanye dalam bentuk rapat umum.
(2) Calon anggota DPD Peserta Pemiiu memberikan laporan awal dana kampanye
Pemilu dan rekening khusus dana kampanye kepada KPU melalui KPU provinsi
paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan kampanye
dalam bentuk rapat umum.
Pasal 135
(1) Laporan dana kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang meliputi penerimaan
dan pengeluaran disampaikan kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh
KPU paling lama 15 (lima belas) hari sesudah hari/tanggal pemungutan suara.
(2) Laporan dana kampanye calon anggota DPD yang meliputi penerimaan dan
pengeluaran disampaikan kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU
paling lama 15 (lima belas) hari sesudah hari/tanggal pemungutan suara.
1
(3) Kantor akuntan publik menyampaikan hasil audit kepada KPU, KPU provinsi, dan
KPU kabupaten/kota paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memberitahukan hasil audit dana
kampanye Peserta Pemilu masing-masing kepada Peserta Pemilu paling lama 7
(tujuh) hari setelah KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menerima hasil
audit dari kantor akuntan publik.
(5) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan hasil pemeriksaan
dana kampanye kepada publik paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah diterimanya
laporan hasil pemeriksaan.
Pasal 136
(1) KPU menetapkan kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135
ayat (1) dan ayat (2) yang memenuhi persyaratan di setiap provinsi.
(2) Kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermeterai cukup bahwa rekan
yang bertanggung jawab atas pemeriksaan laporan dana kampanye tidak
berafiliasi secara langsung ataupun tidak langsung dengan partai politik dan
calon anggota DPD Peserta Pemilu;
b. membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermeterai cukup bahwa rekan
yang bertanggung jawab atas pemeriksaan laporan dana kampanye bukan
merupakan anggota atau pengurus partai politik.
(3) Biaya jasa akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan
pada anggaran pendapatan dan belanja negara.
Pasal 137
(1) Dalam hal kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 135 ayat (1) dalam proses pelaksanaan audit diketahui tidak
memberikan informasi yang benar mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 136 ayat (2), KPU membatalkan penunjukan kantor akuntan publik
yang bersangkutan.
(2) Kantor akuntan publik yang dibatalkan pekerjaannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berhak mendapatkan pembayaran jasa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 136 ayat (3).
(3) KPU menunjuk kantor akuntan publik pengganti untuk melanjutkan pelaksanaan
audit atas laporan dana kampanye partai yang bersangkutan.
1
Pasal 138
(1) Dalam hal pengurus partai politik Peserta Pemilu tingkat pusat, tingkat provinsi,
dan tingkat kabupaten/kota tidak menyampaikan laporan awal dana kampanye
kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sampai batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1), partai politik yang bersangkutan
dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai Peserta Pemilu pada wilayah yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal calon anggota DPD Peserta Pemilu tidak menyampaikan laporan awal
dana kampanye kepada KPU melalui KPU provinsi sampai batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (2), calon anggota DPD yang
bersangkutan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai Peserta Pemilu.
(3) Dalam hal pengurus partai politik Peserta Pemilu tingkat pusat, tingkat provinsi
dan tingkat kabupaten/kota tidak menyampaikan laporan penerimaan dan
pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh
KPU sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1), partai
politik yang bersangkutan dikenai sanksi berupa tidak ditetapkannya calon
anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota menjadi calon terpilih.
(4) Dalam hal calon anggota DPD Peserta Pemilu tidak menyampaikan laporan
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang
ditunjuk oleh KPU sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135
ayat (2), calon anggota DPD yang bersangkutan dikenai sanksi berupa tidak
ditetapkan menjadi calon terpilih.
Pasal 139
(1) Peserta Pemilu dilarang menerima sumbangan yang berasal dari:
a. pihak asing;
b. penyumbang yang tidak jelas identitasnya;
c. pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, dan badan usaha
milik daerah; atau
d. pemerintah desa dan badan usaha milik desa.
(2) Peserta Pemilu yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dibenarkan menggunakan dana tersebut dan wajib melaporkannya
kepada KPU dan menyerahkan sumbangan tersebut kepada kas negara paling
lambat 14 (empat belas) hari setelah masa kampanye berakhir.
(3) Peserta Pemilu yang tidak memenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
1
Pasal 140
Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana kampanye Peserta
Pemilu melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139, KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota melakukan tindakan hukum sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini.
BAB IX
PERLENGKAPAN PEMUNGUTAN SUARA
Pasal 141
(1) KPU bertanggung jawab dalam merencanakan dan menetapkan standar serta
kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara.
(2) Sekretaris Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, dan sekretaris K P U
kabupaten/kota bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengadaan dan
pendistribusian perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada
ayat(1).
Pasal 142
(1) Jenis perlengkapan pemungutan suara terdiri atas:
a. kotak suara;
b. surat suara;
c. tinta;
d. bilik pemungutan suara;
e. segel;
f. alat untuk memberi tanda pilihan; dan
g. tempat pemungutan suara.
(2) Selain perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan
suara dan penghitungan suara, diperlukan dukungan perlengkapan lainnya.
(3) Bentuk, ukuran, dan spesifikasi teknis perlengkapan pemungutan suara
ditetapkan dengan peraturan KPU.
(4) Pengadaan perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilaksanakan oleh Sekretariat
Jenderal KPU dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Pengadaan perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat
1
(1) huruf a, huruf d, huruf f, dan ayat (2), Sekretaris Jenderal KPU dapat
melimpahkan kewenangannya kepada sekretaris KPU provinsi.
(6) Pengadaan perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf g dilaksanakan oleh KPPS bekerja sama dengan masyarakat.
(7) Perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, huruf f, dan ayat (2) harus sudah diterima
KPPS paling lambat 1 (satu) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
(8) Pendistribusian perlengkapan pemungutan suara dilakukan oleh Sekretariat
Jenderal KPU, sekretariat KPU provinsi, dan sekretariat KPU kabupaten/kota.
(9) Dalam pendistribusian dan pengamanan perlengkapan pemungutan suara, KPU
dapat bekerja sama dengan pemerintah, pemerintah daerah, Tentara Nasional
Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 143
(1) Surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) huruf b untuk
calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota memuat tanda
gambar partai politik, nomor urut partai politik, nomor urut calon, dan nama
calon tetap partai politik untuk setiap daerah pemilihan.
(2) Surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) huruf b untuk
calon anggota DPD berisi pas foto diri terbaru dan nama calon anggota DPD
untuk setiap daerah pemilihan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) ditetapkan dalam peraturan KPU.
Pasal 144
(1) Jenis, bentuk, ukuran, warna, dan spesifikasi teknis lain surat suara ditetapkan
dalam peraturan KPU.
(2) Nomor urut tanda gambar partai politik dan calon anggota DPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 143 ditetapkan dengan keputusan KPU.
Pasal 145
(1) Pengadaan surat suara dilakukan di dalam negeri dengan mengutamakan
kapasitas cetak yang sesuai dengan kebutuhan surat suara dan hasil cetak yang
berkualitas baik.
(2) Jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah pemilih tetap ditambah
dengan 2% (dua perseratus) dari jumlah pemilih tetap sebagai cadangan, yang
ditetapkan dengan keputusan KPU.
1
(3) Selain menetapkan pencetakan surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), KPU menetapkan besarnya jumlah surat suara untuk pelaksanaan pemungutan
suara ulang.
(4) Jumlah surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh KPU
untuk setiap daerah pemilihan sebanyak 1.000 (seribu) surat suara pemungutan
suara ulang yang diberi tanda khusus, masing-masing surat suara untuk anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 146
(1) Perusahaan pencetak surat suara dilarang mencetak surat suara lebih dari jumlah
yang ditetapkan oleh KPU dan harus menjaga kerahasiaan, keamanan, serta
keutuhan surat suara.
(2) KPU meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mengamankan
surat suara selama proses pencetakan berlangsung, penyimpanan, dan
pendistribusian ke tempat tujuan.
(3) KPU memverifikasi jumlah surat suara yang telah dicetak, jumlah yang sudah
dikirim dan/atau jumlah yang masih tersimpan dengan membuat berita acara
yang ditandatangani oleh pihak percetakan dan petugas KPU.
(4) KPU mengawasi dan mengamankan desain, film separasi, dan plat cetak yang
digunakan untuk membuat surat suara, sebelum dan sesudah digunakan serta
menyegel dan menyimpannya.
(5) Tata cara pelaksanaan pengamanan terhadap pencetakan, penghitungan,
penyimpanan, pengepakan, dan pendistribusian surat suara ke tempat tujuan
ditetapkan dengan peraturan KPU.
Pasal 147
Pengawasan atas pelaksanaan tugas dan wewenang KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota serta Sekretariat Jenderal KPU, sekretariat KPU provinsi, dan
sekretariat KPU kabupaten/kota mengenai pengadaan dan distribusi perlengkapan
pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 dilaksanakan oleh Bawaslu
dan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
BAB X
PEMUNGUTAN SUARA
Pasal 148
(1) Pemungutan suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota diselenggarakan secara serentak
1
(2) Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk semua daerah pemilihan ditetapkan
dengan keputusan KPU.
Pasal 149
(1) Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS meliputi:
a. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap pada TPS yang
bersangkutan; dan
b. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan.
(2) Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat menggunakan haknya
untuk memilih di TPS lain/TPSLN dengan menunjukkan surat pemberitahuan
dari PPS untuk memberikan suara di TPS lain/TPSLN.
(3) Dalam hal pada suatu TPS terdapat pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, KPPS pada TPS tersebut mencatat dan melaporkan kepada KPU
kabupaten/kota melalui PPK.
Pasal 150
(1) Pemilih untuk setiap TPS paling banyak 500 (lima ratus) orang.
(2) Jumlah surat suara di setiap TPS sama dengan jumlah pemilih yang tercantum
di dalam daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan ditambah dengan 2%
(dua perseratus) dari daftar pemilih tetap sebagai cadangan.
(3) Penggunaan surat suara cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibuatkan berita acara.
(4) Format berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan
peraturan KPU.
Pasal 151
(1) Pelaksanaan pemungutan suara dipimpin oleh KPPS.
(2) Pemberian suara dilaksanakan oleh pemilih.
(3) Pelaksanaan pemungutan suara disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu.
(4) Penanganan ketenteraman, ketertiban, dan keamanan di setiap TPS dilaksanakan
oleh 2 (dua) orang petugas yang ditetapkan oleh PPS.
(5) Pengawasan pemungutan suara dilaksanakan oleh Pengawas Pemilu Lapangan.
(6) Pemantauan pemungutan suara dilaksanakan oleh pemantau Pemilu yang telah
diakreditasi oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
1
(7) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menyerahkan mandat tertulis
dari Partai Politik Peserta Pemilu atau dari calon anggota DPD.
Pasal 152
(1) Dalam rangka persiapan pemungutan suara, KPPS melakukan kegiatan yang
meliputi:
a. penyiapan TPS;
b. pengumuman dengan menempelkan daftar pemilih tetap, daftar pemilih
tambahan, dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota di TPS; dan
c. penyerahan salinan daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan kepada
saksi yang hadir dan Pengawas Pemilu Lapangan.
(2) Dalam rangka pelaksanaan pemungutan suara, KPPS melakukan kegiatan yang
meliputi:
a. pemeriksaan persiapan akhir pemungutan suara;
b. rapat pemungutan suara;
c. pengucapan sumpah atau janji anggota KPPS dan petugas ketenteraman,
ketertiban, dan keamanan TPS;
d. penjelasan kepada pemilih tentang tata cara pemungutan suara; dan
e. pelaksanaan pemberian suara.
Pasal 153
(1) Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada surat suara.
(2) Memberikan tanda satu kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan prinsip memudahkan pemilih, akurasi dalam penghitungan suara,
dan efisien dalam penyelenggaraan Pemilu.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara memberikan tanda diatur dengan
peraturan KPU.
Pasal 154
(1) Sebelum melaksanakan pemungutan suara, KPPS:
a. membuka kotak suara;
b. mengeluarkan seluruh isi kotak suara;
c. mengidentifikasi jenis dokumen dan peralatan;
1
d. menghitung jumlah setiap jenis dokumen dan peralatan;
e. memeriksa keadaan seluruh surat suara; dan
f. menandatangani surat suara yang akan digunakan oleh pemilih.
(2) Saksi Peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat
berhak menghadiri kegiatan KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat(1).
(3) Ketua KPPS wajib membuat dan menandatangani berita acara kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berita acara tersebut ditandatangani
oleh paling sedikit 2 (dua) orang anggota KPPS dan saksi Peserta Pemilu yang
hadir.
Pasal 155
(1) Dalam memberikan suara, pemilih diberi kesempatan oleh KPPS berdasarkan
prinsip urutan kehadiran pemilih.
(2) Apabila pemilih menerima surat suara yang ternyata rusak, pemilih dapat
meminta surat suara pengganti kepada KPPS dan KPPS wajib memberikan surat
suara pengganti hanya 1 (satu) kali dan mencatat surat suara yang rusak dalam
berita acara.
(3) Apabila terdapat kekeliruan dalam memberikan suara, pemilih dapat meminta
surat suara pengganti kepada KPPS dan KPPS hanya memberikan surat suara
pengganti 1 (satu) kali.
Pasal 156
(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain saat
memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan
pemilih.
(2) Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suaranya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih ditetapkan
dengan peraturan KPU.
Pasal 157
(1) Pemungutan suara bagi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri hanya
memilih calon anggota DPR.
(2) Pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di setiap
Perwakilan Republik Indonesia dan dilakukan pada waktu yang sama atau waktu
yang disesuaikan dengan waktu pemungutan suara di Indonesia.
1
(3) Dalam hal pemilih tidak dapat memberikan suara di TPSLN yang telah ditentukan,
pemilih dapat memberikan suara melalui pos yang disampaikan kepada PPLN di
Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 158
(1) Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPSLN meliputi:
a. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap pada TPSLN yang
bersangkutan; dan
b. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan.
(2) Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat menggunakan haknya
untuk memilih di TPSLN lain/TPS dengan menunjukkan surat pemberitahuan
dari PPLN untuk memberikan suara di TPSLN lain/TPS.
(3) KPPSLN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat dan melaporkan kepada
PPLN.
Pasal 159
Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri yang tidak terdaftar sebagai
pemilih tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih.
Pasal 160
(1) Pelaksanaan pemungutan suara di TPSLN dipimpin oleh KPPSLN.
(2) Pemberian suara dilaksanakan oleh pemilih.
(3) Pelaksanaan pemungutan suara disaksikan oleh saksi Partai Politik Peserta Pemilu.
(4) Pengawasan pemungutan suara dilaksanakan oleh Pengawas Pemilu Luar Negeri.
(5) Pemantauan pemungutan suara dilaksanakan oleh pemantau Pemilu yang telah
diakreditasi oleh KPU.
(6) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menyerahkan mandat tertulis
dari Partai Politik Peserta Pemilu.
Pasal 161
(1) Dalam rangka persiapan pemungutan suara, KPPSLN melakukan kegiatan yang
meliputi:
a. penyiapan TPSLN;
b. pengumuman dengan menempelkan daftar pemilih tetap, daftar pemilih
tambahan, dan daftar calon tetap anggota DPR di TPSLN; dan
c. penyerahan salinan daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan kepada
1
saksi yang hadir dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
(2) Dalam rangka pelaksanaan pemungutan suara, KPPSLN melakukan kegiatan yang
meliputi:
a. pemeriksaan persiapan akhir pemungutan suara;
b. rapat pemungutan suara;
c. pengucapan sumpah atau janji anggota KPPSLN dan petugas ketenteraman,
ketertiban, dan keamanan TPSLN;
d. penjelasan kepada pemilih tentang tata cara pemungutan suara; dan
e. pelaksanaan pemberian suara.
Pasal 162
(1) Sebelum melaksanakan pemungutan suara, KPPSLN:
a. membuka kotak suara;
b. mengeluarkan seluruh isi kotak suara;
c. mengidentifikasi jenis dokumen dan peralatan;
d. menghitung jumlah setiap jenis dokumen dan peralatan;
e. memeriksa keadaan seluruh surat suara; dan
f. menandatangani surat suara yang akan digunakan oleh pemilih.
(2) Saksi Partai Politik Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Luar Negeri, pemantau
Pemilu, dan warga masyarakat berhak menghadiri kegiatan KPPSLN sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketua KPPSLN wajib membuat dan menandatangani berita acara kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berita acara tersebut ditandatangani
oleh paling sedikit 2 (dua) orang anggota KPPSLN dan saksi Partai Politik Peserta
Pemilu yang hadir.
Pasal 163
(1) Dalam memberikan suara, pemilih diberi kesempatan oleh KPPSLN berdasarkan
prinsip urutan kehadiran pemilih.
(2) Apabila pemilih menerima surat suara yang temyata rusak, pemilih dapat
meminta surat suara pengganti kepada KPPSLN dan KPPSLN wajib memberikan
surat suara pengganti hanya 1 (satu) kali dan mencatat surat suara yang rusak
dalam berita acara.
(3) Apabila terdapat kekeliruan dalam memberikan suara, pemilih dapat meminta
surat suara pengganti kepada KPPSLN dan KPPSLN hanya memberikan surat suara
1
pengganti 1 (satu) kali.
Pasal 164
(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain saat
memberikan suaranya di TPSLN dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan
pemilih.
(2) Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih ditetapkan
dengan peraturan KPU.
Pasal 165
(1) Pemilih tidak boleh membubuhkan tulisan dan/atau catatan lain pada surat suara.
(2) Surat suara yang terdapat tulisan dan/atau catatan lain dinyatakan tidak sah.
Pasal 166
(1) Pemilih yang telah memberikan suara, diberi tanda khusus oleh KPPS/KPPSLN.
(2) Tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam peraturan
KPU.
Pasal 167
(1) KPPS/KPPSLN dilarang mengadakan penghitungan suara sebelum pemungutan
suara berakhir.
(2) Ketentuan mengenai waktu berakhirnya pemungutan suara ditetapkan dalam
peraturan KPU.
Pasal 168
(1) KPPS/KPPSLN bertanggung jawab atas pelaksanaan pemungutan suara secara
tertib dan lancar.
(2) Pemilih melakukan pemberian suara dengan tertib dan bertanggung jawab.
(3) Saksi melakukan tugasnya dengan tertib dan bertanggung jawab.
(4) Petugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan wajib menjaga ketertiban,
ketenteraman dan keamanan di lingkungan TPS/TPSLN.
(5) Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri wajib melakukan
pengawasan atas pelaksanaan pemungutan suara dengan tertib dan bertanggung
jawab.
1
Pasal 169
(1) Warga masyarakat yang tidak memiliki hak pilih atau yang tidak sedang
melaksanakan pemberian suara dilarang berada di dalam TPS/TPSLN.
(2) Pemantau Pemilu dilarang berada di dalam TPS/TPSLN.
(3) Warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemantau Pemilu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memelihara ketertiban dan kelancaran
pelaksanaan pemungutan suara.
Pasal 170
(1) Dalam hal terjadi penyimpangan pelaksanaan pemungutan suara oleh KPPS/
KPPSLN, Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri memberikan
saran perbaikan disaksikan oleh saksi yang hadir dan petugas ketenteraman,
ketertiban, dan keamanan TPS/TPSLN.
(2) KPPS/KPPSLN seketika itu juga menindaklanjuti saran perbaikan yang
disampaikan oleh pengawas Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 171
(1) Dalam hal terjadi pelanggaran ketenteraman, ketertiban, dan keamanan
pelaksanaan pemungutan suara oleh anggota masyarakat dan/atau oleh
pemantau Pemilu, petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan melakukan
penanganan secara memadai.
(2) Dalam hal anggota masyarakat dan/atau pemantau Pemilu tidak mematuhi
penanganan oleh petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan, yang
bersangkutan diserahkan kepada petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
BAB XI
PENGHITUNGAN SUARA
Bagian Kesatu
Penghitungan Suara di TPS/TPSLN
Pasal 172
(1) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPS dilaksanakan oleh KPPS.
(2) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di
TPSLN dilaksanakan oleh KPPSLN.
(3) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPS disaksikan oleh saksi
Peserta Pemilu.
1
(4) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di
TPSLN disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu.
(5) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPS diawasi oleh Pengawas
Pemilu Lapangan.
(6) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di
TPSLN diawasi oleh Pengawas Pemilu Luar Negeri.
(7) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di TPS dipantau oleh pemantau
Pemilu dan masyarakat.
(8) Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di
TPSLN dipantau oleh pemantau Pemilu dan masyarakat.
(9) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) yang belum menyerahkan
mandat tertulis pada saat pemungutan suara harus menyerahkan mandat tertulis
dari Peserta Pemilu kepada ketua KPPS/KPPSLN.
Pasal 173
(1) Penghitungan suara di TPS/TPSLN dilaksanakan setelah waktu pemungutan suara
berakhir.
(2) Penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dan
selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari/tanggal pemungutan suara.
Pasal 174
(1) KPPS melakukan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di dalam
TPS.
(2) KPPSLN melakukan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara
calon anggota DPR di dalam TPSLN.
(3) Saksi menyaksikan dan mencatat pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota di dalam TPS/TPSLN.
(4) Pengawas Pemilu Lapangan mengawasi pelaksanaan penghitungan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota di dalam TPS.
(5) Pengawas Pemilu Luar Negeri mengawasi pelaksanaan penghitungan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di dalam TPSLN.
1
(6) Pemantau Pemilu memantau pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota di luar TPS.
(7) Pemantau Pemilu memantau pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di luar TPSLN.
(8) Warga masyarakat menyaksikan pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota di luar TPS.
(9) Warga masyarakat menyaksikan pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di luar TPSLN.
Pasal 175
(1) Sebelum melaksanakan penghitungan suara, KPPS/KPPSLN menghitung:
a. jumlah pemilih yang memberikan suara berdasarkan salinan daftar pemilih
tetap;
b. jumlah pemilih yang berasal dari TPS/TPSLN lain;
c. jumlah surat suara yang tidak terpakai;
d. jumlah surat suara yang dikembalikan oleh pemilih karena rusak atau salah
dalam cara memberikan suara; dan
e. sisa surat suara cadangan.
(2) Penggunaan surat suara cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh ketua KPPS/KPPSLN dan oleh
paling sedikit 2 (dua) orang anggota KPPS/KPPSLN yang hadir.
Pasal 176
(1) Suara untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dinyatakan sah apabila:
a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan
b. pemberian tanda satu kali pada kolom nama partai atau kolom nomor calon
atau kolom nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota.
(2) Suara untuk Pemilu anggota DPD dinyatakan sah apabila:
a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan
b. pemberian tanda satu kali pada foto salah satu calon anggota DPD.
1
(3) Ketentuan mengenai pedoman teknis pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan KPU.
Pasal 177
(1) Ketua KPPS/KPPSLN melakukan penghitungan suara dengan suara yang jelas
dan terdengar dengan memperlihatkan surat suara yang dihitung.
(2) Penghitungan suara dilakukan secara terbuka dan di tempat yang terang atau
yang mendapat penerangan cahaya cukup.
(3) Penghitungan suara dicatat pada lembar/papan/layar penghitungan dengan
tulisan yang jelas dan terbaca.
(4) Format penulisan penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan dalam peraturan KPU.
Pasal 178
(1) Peserta Pemilu, saksi, Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri
dan masyarakat dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran,
penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan penghitungan suara
kepada KPPS/KPPSLN.
(2) Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui saksi Peserta Pemilu atau Pengawas
Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri yang hadir dapat mengajukan
keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh KPPS/KPPSLN apabila
ternyata terdapat hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal keberatan yang diajukan melalui saksi Peserta Pemilu atau Pengawas
Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat diterima, KPPS/KPPSLN seketika itu juga mengadakan pembetulan.
Pasal 179
(1) Hasil penghitungan suara di TPS/TPSLN dituangkan ke dalam berita acara
pemungutan dan penghitungan suara serta ke dalam sertifikat hasil penghitungan
suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU.
(2) Berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil
penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
seluruh anggota KPPS/KPPSLN dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.
(3) Dalam hal terdapat anggota KPPS/KPPSLN dan saksi Peserta Pemilu yang hadir
tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita
acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan
1
suara ditandatangani oleh anggota KPPS/KPPSLN dan saksi Peserta Pemilu yang
hadir yang bersedia menandatangani.
Pasal 180
(1) KPPS/KPPSLN mengumumkan hasil penghitungan suara di TPS/TPSLN.
(2) KPPS wajib memberikan 1 (satu) eksemplar berita acara pemungutan dan
penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi
Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, PPS, dan PPK melalui PPS pada hari
yang sama.
(3) KPPSLN wajib memberikan 1 (satu) eksemplar berita acara pemungutan dan
penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi
Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Luar Negeri dan PPLN pada hari yang sama.
(4) KPPS/KPPSLN wajib menyegel, menjaga, dan mengamankan keutuhan kotak
suara setelah penghitungan suara.
(5) KPPS/KPPSLN wajib menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara,
berita acara pemungutan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara kepada
PPK melalui PPS atau kepada PPLN bagi KPPSLN pada hari yang sama.
(6) Penyerahan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan
dan penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib diawasi oleh Pengawas Pemilu
Lapangan dan Panwaslu kecamatan serta wajib dilaporkan kepada Panwaslu
kabupaten/kota.
Pasal 181
PPS wajib mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan suara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 180 ayat (2) dari seluruh TPS di wilayah kerjanya dengan cara
menempelkan salinan tersebut di tempat umum.
Bagian Kedua
Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara di Kecamatan
Pasal 182
(1) PPK membuat berita acara penerimaan hasil penghitungan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dari TPS melalui PPS.
(2) PPK melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rapat yang dihadiri
1
saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu kecamatan.
(3) Rekapitulasi penghitungan suara dilakukan dengan membuka kotak suara tersegel
untuk mengambil sampul yang berisi berita acara pemungutan suara dan
sertifikat hasil penghitungan suara, kemudian kotak ditutup dan disegel kembali.
(4) PPK membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan membuat sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara.
(5) PPK mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di tempat umum.
(6) PPK menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara tersebut kepada saksi Peserta Pemilu, Panwaslu kecamatan,
dan KPU kabupaten/kota.
Pasal 183
(1) Panwaslu kecamatan wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya
pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada
PPK.
(2) Saksi dapat menyampaikan laporan dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan
dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada PPK.
(3) PPK wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2)pada hari pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 184
(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di PPK dituangkan ke dalam
berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU.
1
(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota
PPK dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.
(3) Dalam hal terdapat anggota PPK dan saksi Peserta Pemilu yang hadir, tetapi
tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita
acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
ditandatangani oleh anggota PPK dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang
bersedia menandatangani.
Pasal 185
PPK wajib menyerahkan kepada KPU kabupaten/kota surat suara calon anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari TPS dalam kotak suara tersegel
serta berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu di tingkat
PPK yang dilampiri berita acara pemungutan suara dan sertifikat hasil penghitungan
suara dari TPS.
Pasal 186
(1) PPLN melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR dari seluruh KPPSLN di wilayah
kerjanya serta melakukan penghitungan perolehan suara yang diterima melalui
pos dengan disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu yang hadir dan Pengawas Pemilu
Luar Negeri.
(2) PPLN wajib membuat dan menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara dari seluruh KPPSLN di wilayah kerjanya kepada KPU.
Bagian Ketiga
Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara di Kabupaten/Kota
Pasal 187
(1) KPU kabupaten/kota membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari PPK.
(2) KPU kabupaten/kota melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
1
Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu kabupaten/kota.
(3) KPU kabupaten/kota membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(4) KPU kabupaten/kota mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).
(5) KPU kabupaten/kota menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPRD kabupaten/
kota.
(6) KPU kabupaten/kota menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada saksi Peserta Pemilu, Panwaslu
kabupaten/kota, dan KPU provinsi.
Pasal 188
(1) Panwaslu kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya
pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada
KPU kabupaten/kota.
(2) Saksi dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran,
penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU
kabupaten/kota.
(3) KPU kabupaten/kota wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada hari pelaksanaan rekapitulasi
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 189
(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU kabupaten/kota
1
dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam
peraturan KPU.
(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD, provinsi dan DPRD kabupaten/
kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota
KPU kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.
(3) Dalam hal terdapat anggota KPU kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu yang
hadir, tetapi tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota ditandatangani oleh anggota KPU kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu
yang hadir yang bersedia menandatangani.
Pasal 190
KPU kabupaten/kota menyimpan, menjaga dan mengamankan keutuhan kotak suara
setelah pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota.
Bagian Keempat
Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara di Provinsi
Pasal 191
(1) KPU provinsi membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari KPU kabupaten/kota.
(2) KPU provinsi melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu.
(3) KPU provinsi membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota.
1
(4) KPU provinsi mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) KPU provinsi menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai
Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPRD provinsi.
(6) KPU provinsi menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota kepada saksi Peserta Pemilu, Panwaslu provinsi, dan
KPU.
Pasal 192
(1) Panwaslu provinsi wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran,
penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU
provinsi.
(2) Saksi dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran,
penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU
provinsi.
(3) KPU provinsi wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) pada hari pelaksanaan rekapitulasi penghitungan
perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 193
(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU provinsi dituangkan ke
dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU.
(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota
KPU provinsi dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.
1
(3) Dalam hal terdapat anggota KPU provinsi dan saksi Peserta Pemilu yang hadir,
tetapi tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota ditandatangani oleh anggota KPU provinsi dan saksi Peserta Pemilu yang
hadir yang bersedia menandatangani.
Bagian Kelima
Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara Secara Nasional
Pasal 194
(1) KPU membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari KPU provinsi.
(2) KPU melakukan rekapitulasi hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara
Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu.
(3) KPU membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.
(4) KPU mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR dan DPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) KPU menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR dan DPD.
(6) KPU menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik
Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota kepada saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu.
Pasal 195
(1) Bawaslu wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran,
penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU.
1
(2) Saksi dapat menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran,
penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU.
(3) KPU wajib langsung menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) pada hari pelaksanaan rekapitulasi penghitungan perolehan
suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 196
(1) Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di KPU dituangkan ke dalam
berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam peraturan KPU.
(2) Berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu
dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh seluruh anggota
KPU dan saksi Peserta Pemilu yang hadir.
(3) Dalam hal terdapat anggota KPU dan saksi Peserta Pemilu yang hadir tetapi
tidak bersedia menandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita
acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan
suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
ditandatangani oleh anggota KPU dan saksi Peserta Pemilu yang hadir yang
bersedia menandatangani.
Pasal 197
Saksi Peserta Pemilu dalam rekapitulasi suara anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota di PPK, KPU kabupaten/kota, KPU provinsi, dan KPU harus
menyerahkan mandat tertulis dari Peserta Pemilu.
Bagian Keenam
Pengawasan dan Sanksi dalam Penghitungan Suara dan Rekapitulasi
Penghitungan Perolehan Suara
Pasal 198
(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan dan
1
Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri melakukan pengawasan
atas rekapitulasi penghitungan perolehan suara yang dilaksanakan oleh KPU,
KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, dan PPS/PPSLN.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap
kemungkinan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan oleh
anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK/PPLN, PPS, dan KPPS/
KPPSLN dalam melakukan rekapitulasi penghitungan perolehan suara.
(3) Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran,
penyimpangan dan/atau kesalahan dalam rekapitulasi penghitungan perolehan
suara, Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu
kecamatan, dan Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri
melaporkan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK/PPLN, PPS, dan KPPS/
KPPSLN yang melakukan pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dikenai
tindakan hukum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
BAB XII
PENETAPAN HASIL PEMILU
Bagian Kesatu
Hasil Pemilu
Pasal 199
(1) Hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota terdiri
atas perolehan suara partai politik serta perolehan suara calon anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
(2) KPU wajib menetapkan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Bagian Kedua
Penetapan Perolehan Suara
Pasal 200
(1) Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR dan perolehan suara
untuk calon anggota DPD ditetapkan oleh KPU dalam sidang pleno terbuka yang
dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu.
(2) Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD provinsi ditetapkan
1
oleh KPU provinsi dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi
Peserta Pemilu dan Panwaslu provinsi.
(3) Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD kabupaten/kota
ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri
oleh para saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu kabupaten/kota.
Pasal 201
(1) KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional dan hasil perolehan suara partai
politik untuk calon anggota DPR dan perolehan suara untuk calon anggota DPD
paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah hari/tanggal pemungutan suara.
(2) KPU provinsi menetapkan hasil perolehan suara partai politik untuk calon anggota
DPRD provinsi paling lambat 15 (lima belas) hari setelah hari/tanggal pemungutan
suara.
(3) KPU kabupaten/kota menetapkan hasil perolehan suara partai politik untuk calon
anggota DPRD kabupaten/kota paling lambat 12 (dua belas) hari setelah hari/
tanggal pemungutan suara.
Pasal 202
(1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara
sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah
secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan
perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 203
(1) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1), tidak disertakan pada
penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.
(2) Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah pemilihan ialah
jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara
sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan
suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1).
(3) Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh partai politik peserta pemilu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu daerah pemilihan ditetapkan
angka BPP DPR dengan cara membagi jumlah suara sah Partai Politik Peserta
Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di satu daerah
pemilihan.
1
BAB XIII
PENETAPAN PEROLEHAN KURSI DAN CALON TERPILIH
Bagian Kesatu
Penetapan Perolehan Kursi
Pasal 204
(1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPR ditetapkan oleh
KPU.
(2) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi
ditetapkan oleh KPU provinsi.
(3) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD kabupaten/
kota ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota.
Pasal 205
(1) Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR Partai Politik Peserta Pemilu
didasarkan atas hasil penghitungan seluruh suara sah dari setiap Partai Politik
Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan pasal 202 di daerah pemilihan yang
bersangkutan.
(2) Dari hasil penghitungan seluruh suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan angka BPP DPR.
(3) Setelah ditetapkan angka BPP DPR dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap
pertama dengan membagi jumlah suara sah yang diperoleh suatu Partai Politik
Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan BPP DPR.
(4) Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi
tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi
kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya
50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR.
(5) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dilakukan penghitungan tahap kedua,
maka dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap ketiga dengan cara seluruh
sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu dikumpulkan di provinsi untuk menentukan
BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan.
(6) BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) ditetapkan dengan membagi jumlah sisa suara sah seluruh Partai Politik
Peserta Pemilu dengan jumlah sisa kursi.
(7) Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dilakukan dengan cara memberikan kursi kepada partai politik
yang mencapai BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan.
1
Pasal 206
Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dengan BPP DPR yang baru
sebagaimana dimaksud dalam pasal 205, penetapan perolehan kursi Partai Politik
Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi kepada Partai Politik
Peserta Pemilu di provinsi satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi
habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak.
Pasal 207
Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 206 dan sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu sudah terkonversi menjadi
kursi, maka kursi diberikan kepada partai politik yang memiliki akumulasi perolehan
suara terbanyak secara berturut-turut di provinsi yang bersangkutan.
Pasal 208
Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam
pasal 205 ayat (7) dan pasal 206 dialokasikan bagi daerah pemilihan yang masih
memiliki sisa kursi.
Pasal 209
Dalam hal daerah pemilihan adalah provinsi maka penghitungan sisa suara dilakukan
habis di daerah pemilihan tersebut.
Pasal 210
Ketentuan lebih lanjut penetapan perolehan kursi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
205, Pasal 206, Pasal 207, Pasal 208, dan Pasal 209 diatur dalam peraturan KPU.
Pasal 211
(1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi
ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah yang telah
ditetapkan oleh KPU provinsi dengan angka BPP DPRD di daerah pemilihan masing-masing.
(2) BPP DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan cara membagi
jumlah perolehan suara sah Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD
provinsi dengan jumlah kursi anggota DPRD provinsi di daerah pemilihan masing-masing.
(3) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP DPRD,
maka perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara
membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu sampai
habis.
1
Pasal 212
(1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD kabupaten/
kota ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah yang telah
ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dengan angka BPP DPRD di daerah pemilihan
masing-masing.
(2) BPP DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan cara membagi
jumlah perolehan suara sah Partai Politik Peserta Pemilu untuk pemilihan anggota
DPRD kabupaten/kota dengan jumlah kursi anggota DPRD kabupaten/kota di
daerah pemilihan masing-masing.
(3) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP DPRD,
maka perolehan kursi partai politik peserta pemilu dilakukan dengan cara
membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu sampai
habis.
Bagian Kedua
Penetapan Calon Terpilih
Pasal 213
(1) Calon terpilih anggota DPR dan anggota DPD ditetapkan oleh KPU.
(2) Calon terpilih anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi.
(3) Calon terpilih anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU kabupaten/
kota.
Pasal 214
Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta
Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan:
a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan
berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
perseratus) dari BPP;
b. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada
jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan
kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi
ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP;
c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan
perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada
calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi
1
ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi
calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP;
d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah
kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi
diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;
e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga
puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor
urut;
Pasal 215
(1) Penetapan calon terpilih anggota DPD didasarkan pada nama calon yang
memperoleh suara terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat di provinsi
yang bersangkutan.
(2) Dalam hal perolehan suara calon terpilih keempat terdapat jumlah suara yang
sama, calon yang memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata
penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan sebagai
calon terpilih.
(3) KPU menetapkan calon pengganti antar waktu anggota DPD dari nama calon
yang memperoleh suara terbanyak kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan di
provinsi yang bersangkutan.
BAB XIV
PEMBERITAHUAN CALON TERPILIH
Pasal 216
(1) Pemberitahuan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota dilakukan setelah ditetapkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/
kota.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis
kepada pengurus Partai Politik Peserta Pemilu sesuai dengan tingkatannya dengan
tembusan kepada calon terpilih yang bersangkutan.
Pasal 217
(1) Pemberitahuan calon terpilih anggota DPD dilakukan setelah ditetapkan oleh
KPU.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis
kepada calon terpilih anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak pertama,
kedua, ketiga, dan keempat dengan tembusan kepada gubernur dan KPU provinsi
1
yang bersangkutan.
BAB XV
PENGGANTIAN CALON TERPILIH
Pasal 218
(1) Penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
atau DPRD kabupaten/kota;
d. terbukti melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik uang atau pemalsuan
dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
(2) Dalam hal calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf
d telah ditetapkan dengan keputusan KPU, KPU provinsi atau KPU kabupaten/
kota, keputusan penetapan yang bersangkutan batal demi hukum.
(3) Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti dengan calon dari daftar calon
tetap Partai Politik Peserta Pemilu pada daerah pemilihan yang sama berdasarkan
surat keputusan pimpinan partai politik yang bersangkutan.
(4) Calon terpilih anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti dengan
calon yang memperoleh suara terbanyak berikutnya.
(5) KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota menetapkan calon anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih pengganti
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan keputusan KPU, KPU provinsi, atau
KPU kabupaten/kota.
BAB XVI
PEMUNGUTAN SUARA ULANG, PENGHITUNGAN SUARA ULANG, DAN
REKAPITULASI SUARA ULANG
Bagian Kesatu
Pemungutan Suara Ulang
Pasal 219
(1) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi bencana alam dan/atau
1
kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan
atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.
(2) Pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan
pemeriksaan Pengawas Pemilu Lapangan terbukti terdapat keadaan sebagai
berikut:
a. pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara
tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
b. petugas KPPS meminta pemilih memberikan tanda khusus, menandatangani,
atau menuliskan nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah
digunakan; dan/atau
c. petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh
pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah.
Pasal 220
(1) Pemungutan suara ulang diusulkan oleh KPPS dengan menyebutkan keadaan yang
menyebabkan diadakannya pemungutan suara ulang.
(2) Usul KPPS diteruskan kepada PPK untuk selanjutnya diajukan kepada KPU
kabupaten/kota untuk pengambilan keputusan diadakannya pemungutan suara
ulang.
(3) Pemungutan suara ulang di TPS dilaksanakan paling lama 10 (sepuluh) hari
setelah hari/tanggal pemungutan suara berdasarkan keputusan PPK.
Bagian Kedua
Penghitungan Suara Ulang dan Rekapitulasi Suara Ulang
Pasal 221
(1) Penghitungan suara ulang berupa penghitungan ulang surat suara di TPS,
penghitungan suara ulang di PPK, dan rekapitulasi suara ulang di PPK, di KPU
kabupaten/kota, dan di KPU provinsi.
(2) Penghitungan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi hal sebagai berikut:
a. kerusuhan yang mengakibatkan penghitungan suara tidak dapat dilanjutkan;
b. penghitungan suara dilakukan secara tertutup;
c. penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang terang atau yang kurang
mendapat penerangan cahaya;
d. penghitungan suara dilakukan dengan suara yang kurang jelas;
1
e. penghitungan suara dicatat dengan tulisan yang kurang jelas;
f. saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, dan warga masyarakat
tidak dapat menyaksikan proses penghitungan suara secara jelas;
g. penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar tempat dan waktu yang
telah ditentukan; dan/atau
h. terjadi ketidak konsistenan dalam menentukan surat suara yang sah dan
surat suara yang tidak sah.
Pasal 222
(1) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 ayat (2),
saksi Peserta Pemilu atau Pengawas Pemilu Lapangan dapat mengusulkan
penghitungan ulang surat suara di TPS yang bersangkutan.
(2) Penghitungan ulang surat suara di TPS harus dilaksanakan dan selesai pada
hari/tanggal yang sama dengan hari/tanggal pemungutan suara.
Pasal 223
Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi
dapat diulang apabila terjadi keadaan sebagai berikut:
a. kerusuhan yang mengakibatkan rekapitulasi hasil penghitungan suara tidak dapat
dilanjutkan;
b. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan secara tertutup;
c. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang terang
atau kurang mendapatkan penerangan cahaya;
d. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan dengan suara yang kurang jelas;
e. rekapitulasi hasil penghitungan suara dicatat dengan tulisan yang kurang jelas;
f. saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, pemantau Pemilu, dan warga
masyarakat tidak dapat menyaksikan proses rekapitulasi hasil penghitungan
suara secara jelas; dan/atau
g. rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar tempat
dan waktu yang telah ditentukan.
Pasal 224
(1) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 223, saksi Peserta
Pemilu atau Panwaslu kecamatan, Panwaslu kabupaten/kota, dan Panwaslu
provinsi dapat mengusulkan untuk dilaksanakan rekapitulasi hasil penghitungan
suara di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi yang bersangkutan.
1
(2) Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU
provinsi harus dilaksanakan dan selesai pada hari/tanggal pelaksanaan
rekapitulasi.
Pasal 225
(1) Dalam hal terdapat perbedaan jumlah suara pada sertifikat hasil penghitungan
suara dari TPS dengan sertifikat hasil penghitungan suara yang diterima PPK
melalui PPS, saksi Peserta Pemilu tingkat kecamatan dan saksi Peserta Pemilu
di TPS, Panwaslu kecamatan, atau Pengawas Pemilu Lapangan, maka PPK
melakukan penghitungan suara ulang untuk TPS yang bersangkutan.
(2) Penghitungan suara ulang di TPS dan rekapitulasi hasil penghitungan suara ulang
di PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 ayat (2) dan Pasal 223 dilaksanakan
paling lama 5 (lima) hari setelah hari/tanggal pemungutan suara berdasarkan
keputusan PPK.
Pasal 226
Penghitungan suara ulang untuk TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 ayat
(1) dilakukan dengan cara membuka kotak suara hanya dilakukan di PPK.
Pasal 227
(1) Dalam hal terjadi perbedaan jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara dari PPK dengan sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara yang diterima oleh KPU kabupaten/kota, saksi
Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota dan saksi Peserta Pemilu tingkat
kecamatan, Panwaslu kabupaten/Kota, atau Panwaslu kecamatan, maka KPU
kabupaten/kota melakukan pembetulan data melalui pengecekan dan/atau
rekapitulasi ulang data yang termuat pada sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara untuk PPK yang bersangkutan.
(2) Dalam hal terjadi perbedaan data jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan suara dari KPU kabupaten/kota dengan sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan suara yang diterima oleh KPU provinsi, saksi Peserta Pemilu tingkat
provinsi dan saksi Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota, panitia pengawas
Pemilu provinsi, atau panitia pengawas Pemilu kabupaten/kota, maka KPU
provinsi melakukan pembetulan data melalui pengecekan dan/atau rekapitulasi
ulang data yang termuat pada sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara untuk KPU kabupaten/kota yang bersangkutan.
(3) Dalam hal terjadi perbedaan data jumlah suara pada sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan suara dari KPU provinsi dengan sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan suara yang diterima oleh KPU, saksi Peserta Pemilu tingkat pusat
1
dan saksi Peserta Pemilu tingkat provinsi, Badan Pengawas Pemilu, atau panitia
pengawas Pemilu provinsi, maka KPU melakukan pembetulan data melalui
pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang termuat pada sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara untuk KPU provinsi yang
bersangkutan.
BAB XVII
PEMILU LANJUTAN DAN PEMILU SUSULAN
Pasal 228
(1) Dalam hal di sebagian atau seluruh daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan
keamanan, bencana alam atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian
tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu
lanjutan.
(2) Pelaksanaan Pemilu lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai dari
tahap penyelenggaraan Pemilu yang terhenti.
Pasal 229
(1) Dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan,
bencana alam atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan
penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan.
(2) Pelaksanaan Pemilu susulan dilakukan untuk seluruh tahapan penyelengaraan
Pemilu.
Pasal 230
(1) Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan dilaksanakan setelah ada penetapan
penundaan pelaksanaan Pemilu.
(2) Penetapan penundaan pelaksanaan Pemilu dilakukan oleh:
a. KPU kabupaten/kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu
meliputi satu atau beberapa desa/kelurahan;
b. KPU kabupaten/kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu
meliputi satu atau beberapa kecamatan;
c. KPU provinsi atas usul KPU kabupaten/kota apabila penundaan
pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kabupaten/kota;
d. KPU atas usul KPU provinsi apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi
satu atau beberapa provinsi.
(3) Dalam hal Pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40% (empat puluh perseratus)
jumlah provinsi atau 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah pemilih terdaftar
1
secara nasional tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih, penetapan
Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan dilakukan oleh Presiden atas usul KPU.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan waktu pelaksanaan Pemilu lanjutan
atau Pemilu susulan diatur dalam peraturan KPU.
BAB XVIII
PEMANTAUAN PEMILU
Bagian Kesatu
Pemantau Pemilu
Pasal 231
(1) Pelaksanaan Pemilu dapat dipantau oleh pemantau Pemilu.
(2) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. lembaga swadaya masyarakat pemantau Pemilu dalam negeri;
b. badan hukum dalam negeri;
c. lembaga pemantau pemilihan dari luar negeri;
d. lembaga pemilihan luar negeri; dan
e. perwakilan negara sahabat di Indonesia.
Bagian Kedua
Persyaratan dan Tata Cara Menjadi Pemantau Pemilu
Pasal 232
(1) Pemantau Pemilu harus memenuhi persyaratan:
a. bersifat independen;
b. mempunyai sumber dana yang jelas; dan
c. terdaftar dan memperoleh akreditasi dari KPU, KPU provinsi, atau KPU
kabupaten/kota sesuai dengan cakupan wilayah pemantauannya.
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemantau
dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2) huruf c, huruf
d, dan huruf e harus memenuhi persyaratan khusus:
a. mempunyai kompetensi dan pengalaman sebagai pemantau Pemilu di negara
lain, yang dibuktikan dengan surat pernyataan dari organisasi pemantau yang
bersangkutan atau dari pemerintah negara lain tempat yang bersangkutan
pernah melakukan pemantauan;
1
b. memperoleh visa untuk menjadi pemantau Pemilu dari Perwakilan Republik
Indonesia di Luar Negeri;
c. memenuhi tata cara melakukan pemantauan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal 233
(1) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2) mengajukan
permohonan untuk melakukan pemantauan Pemilu dengan mengisi formulir
pendaftaran yang disediakan oleh KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota.
(2) Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembalikan formulir
pendaftaran kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota dengan
menyerahkan kelengkapan administrasi yang meliputi:
a. profil organisasi/lembaga;
b. nama dan jumlah anggota pemantau;
c. alokasi anggota pemantau yang akan ditempatkan ke daerah;
d. rencana dan jadwal kegiatan pemantauan serta daerah yang ingin dipantau;
dan
e. nama, alamat, dan pekerjaan penanggung jawab pemantau yang dilampiri
pas foto diri terbaru;
(3) KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota meneliti kelengkapan administrasi
pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pemantau Pemilu yang memenuhi persyaratan diberi tanda terdaftar sebagai
pemantau Pemilu serta mendapatkan sertifikat akreditasi.
(5) Dalam hal pemantau Pemilu tidak memenuhi kelengkapan administrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemantau Pemilu yang bersangkutan
dilarang melakukan pemantauan Pemilu.
(6) Khusus pemantau yang berasal dari perwakilan negara sahabat di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2) huruf e, yang bersangkutan
harus mendapatkan rekomendasi Menteri Luar Negeri.
(7) Tata cara akreditasi pemantau Pemilu diatur lebih lanjut dalam peraturan KPU.
Bagian Ketiga
Wilayah Kerja Pemantau Pemilu
Pasal 234
(1) Pemantau Pemilu melakukan pemantauan pada satu daerah pemantauan sesuai
1
dengan rencana pemantauan yang telah diajukan kepada KPU, KPU provinsi,
atau KPU kabupaten/kota.
(2) Pemantau Pemilu yang melakukan pemantauan pada lebih dari satu provinsi
harus mendapatkan persetujuan KPU dan wajib melapor ke KPU provinsi masing-masing.
(3) Pemantau Pemilu yang melakukan pemantauan pada lebih dari satu kabupaten/
kota pada satu provinsi harus mendapatkan persetujuan KPU provinsi dan wajib
melapor ke KPU kabupaten/kota masing-masing.
(4) Persetujuan atas wilayah kerja pemantau luar negeri dikeluarkan oleh KPU.
Bagian Keempat
Tanda Pengenal Pemantau Pemilu
Pasal 235
(1) Tanda pengenal pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat
(2) huruf a dan huruf b dikeluarkan oleh KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/
kota sesuai dengan wilayah kerja yang bersangkutan.
(2) Tanda pengenal pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat
(2) huruf c, huruf d, dan huruf e dikeluarkan oleh KPU.
(3) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. tanda pengenal pemantau asing biasa; dan
b. tanda pengenal pemantau asing diplomat.
(4) Pada tanda pengenal pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dimuat informasi tentang :
a. nama dan alamat pemantau Pemilu yang memberi tugas;
b. nama anggota pemantau yang bersangkutan;
c. pas foto diri terbaru anggota pemantau yang bersangkutan;
d. wilayah kerja pemantauan; dan
e. nomor dan tanggal akreditasi.
(5) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan dalam setiap
kegiatan pemantauan Pemilu.
(6) Bentuk dan format tanda pengenal pemantau Pemilu diatur dalam peraturan
KPU.
1
Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Pemantau Pemilu
Pasal 236
(1) Pemantau Pemilu mempunyai hak:
a. mendapat perlindungan hukum dan keamanan dari Pemerintah Indonesia;
b. mengamati dan mengumpulkan informasi proses penyelenggaraan Pemilu;
c. memantau proses pemungutan dan penghitungan suara dari luar TPS;
d. mendapatkan akses informasi yang tersedia dari KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota; dan
e. menggunakan perlengkapan untuk mendokumentasikan kegiatan
pemantauan sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu.
(2) Pemantau asing yang berasal dari perwakilan negara asing yang berstatus
diplomat berhak atas kekebalan diplomatik selama menjalankan tugas sebagai
pemantau Pemilu.
Pasal 237
Pemantau Pemilu mempunyai kewajiban:
a. mematuhi peraturan perundang-undangan dan menghormati kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b. mematuhi kode etik pemantau Pemilu yang diterbitkan oleh KPU;
c. melaporkan diri, mengurus proses akreditasi dan tanda pengenal ke KPU, KPU
provinsi atau KPU kabupaten/kota sesuai dengan wilayah kerja pemantauan;
d. menggunakan tanda pengenal selama menjalankan pemantauan;
e. menanggung semua biaya pelaksanaan kegiatan pemantauan;
f. melaporkan jumlah dan keberadaan personel pemantau Pemilu serta tenaga
pendukung administratif kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota
sesuai dengan wilayah pemantauan;
g. menghormati kedudukan, tugas, dan wewenang penyelenggara Pemilu;
h. menghormati adat istiadat dan budaya setempat;
i. bersikap netral dan objektif dalam melaksanakan pemantauan;
j. menjamin akurasi data dan informasi hasil pemantauan yang dilakukan dengan
mengklarifikasikan kepada KPU, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota; dan
k. melaporkan hasil akhir pemantauan pelaksanaan Pemilu kepada KPU, KPU
1
provinsi, dan KPU kabupaten/kota.
Bagian Keenam
Larangan bagi Pemantau Pemilu
Pasal 238
Pemantau Pemilu dilarang:
a. melakukan kegiatan yang mengganggu proses pelaksanaan Pemilu;
b. memengaruhi pemilih dalam menggunakan haknya untuk memilih;
c. mencampuri pelaksanaan tugas dan wewenang penyelenggara Pemilu;
d. memihak kepada Peserta Pemilu tertentu;
e. menggunakan seragam, warna, atau atribut lain yang memberikan kesan
mendukung Peserta Pemilu;
f. menerima atau memberikan hadiah, imbalan, atau fasilitas apa pun dari atau
kepada Peserta Pemilu;
g. mencampuri dengan cara apa pun urusan politik dan pemerintahan dalam negeri
Indonesia;
h. membawa senjata, bahan peledak dan/atau bahan berbahaya lainnya selama
melakukan tugas pemantauan;
i. masuk ke dalam TPS; dan/atau
j. melakukan kegiatan lain yang tidak sesuai dengan tujuan sebagai pemantau
Pemilu.
Bagian Ketujuh
Sanksi bagi Pemantau Pemilu
Pasal 239
Pemantau Pemilu yang melanggar kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dicabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilu.
Pasal 240
(1) Pelanggaran oleh pemantau Pemilu atas kewajiban dan larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dilaporkan kepada KPU kabupaten/
kota untuk ditindaklanjuti.
(2) Dalam hal pelanggaran atas kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dilakukan oleh pemantau dalam negeri dan terbukti
1
kebenarannya, maka KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota mencabut
status dan haknya sebagai pemantau Pemilu.
(3) Dalam hal pelanggaran atas kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 237 dan Pasal 238 dilakukan oleh pemantau asing dan terbukti
kebenarannya, maka KPU mencabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilu.
(4) Pelanggaran atas kewajiban dan larangan yang bersifat tindak pidana dan/atau
perdata yang dilakukan oleh pemantau Pemilu, pemantau Pemilu yang
bersangkutan dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 241
Menteri yang membidangi hukum dan hak asasi manusia menindaklanjuti penetapan
pencabutan status dan hak pemantau asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240
ayat (3) setelah berkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedelapan
Pelaksanaan Pemantauan
Pasal 242
Sebelum melaksanakan pemantauan, pemantau Pemilu melapor kepada KPU, KPU
provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah.
Pasal 243
Petunjuk teknis pelaksanaan pemantauan diatur dalam peraturan KPU dengan
memperhatikan pertimbangan dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
BAB XIX
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU
Pasal 244
(1) Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat.
(2) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau
jajak pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan cepat hasil Pemilu, dengan
ketentuan:
a. tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu
Peserta Pemilu.
b. tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu.
c. bertujuan meningkatkan partisipasi poiitik masyarakat secara luas.
1
d. mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan Pemilu
yang aman, damai, tertib, dan lancar.
Pasal 245
(1) Partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi
pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan cepat
hasil Pemilu wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU.
(2) Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh dilakukan pada masa
tenang.
(3) Pengumuman hasil penghitungan cepat hanya boleh dilakukan paling cepat pada
hari berikutnya dari hari/tanggal pemungutan suara.
(4) Pelaksana kegiatan penghitungan cepat wajib memberitahukan metodologi yang
digunakannya dan hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan merupakan
hasil resmi penyelenggara Pemilu.
(5) Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) merupakan
tindak pidana Pemilu.
Pasal 246
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan Pemilu diatur dalam peraturan KPU.
BAB XX
PENYELESAIAN PELANGGARAN PEMILU DAN PERSELISIHAN HASIL PEMILU
Bagian Kesatu
Penyelesaian Pelanggaran Pemilu
Paragraf 1
Penanganan Laporan Pelanggaran Pemilu
Pasal 247
(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan,
Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menerima laporan
pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan oleh:
a. Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih;
b. pemantau Pemilu; atau
c. Peserta Pemilu.
1
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada
Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan,
Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dengan paling sedikit
memuat:
a. nama dan alamat pelapor;
b. pihak terlapor;
c. waktu dan tempat kejadian perkara; dan
d. uraian kejadian.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling tama 3 (tiga)
hari sejak terjadinya pelanggaran Pemilu.
(5) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan,
Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri mengkaji setiap
laporan pelanggaran yang diterima.
(6) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti kebenarannya,
Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan,
Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri wajib
menindaklanjuti laporan paling lama 3 (tiga) hari setelah laporan diterima.
(7) Dalam hal Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu
kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri
memerlukan keterangan tambahan dari pelapor mengenai tindak lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 5 (lima) hari setelah
laporan diterima.
(8) Laporan pelanggaran administrasi Pemilu diteruskan kepada KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota.
(9) Laporan pelanggaran pidana Pemilu diteruskan kepada penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan pelanggaran Pemilu diatur
dalam peraturan Bawaslu.
Paragraf 2
Pelanggaran Administrasi Pemilu
Pasal 248
Pelanggaran administrasi Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini yang bukan merupakan ketentuan pidana Pemilu dan terhadap ketentuan
lain yang diatur dalam peraturan KPU.
1
Pasal 249
Pelanggaran administrasi Pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota berdasarkan laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu
kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya.
Pasal 250
KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memeriksa dan memutus pelanggaran
administrasi Pemilu dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya laporan
dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota.
Pasal 251
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi
Pemilu diatur dalam peraturan KPU.
Paragraf 3
Pelanggaran Pidana Pemilu
Pasal 252
Pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu
yang diatur dalam Undang-Undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Pasal 253
(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia menyampaikan hasil penyidikannya
disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 14 (empat belas)
hari sejak menerima laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu
kabupaten/kota.
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, dalam waktu paling lama 3
(tiga) hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik
kepolisian disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi.
(3) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga)
hari sejak tanggal penerimaan berkas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut
umum.
(4) Penuntut umum melimpahkan berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kepada pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari sejak menerima berkas
perkara.
Pasal 254
(1) Pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana
1
Pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
(2) Sidang pemeriksaan perkara pidana Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh hakim khusus.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim khusus diatur dengan peraturan
Mahkamah Agung.
Pasal 255
(1) Pengadilan negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana Pemilu
paling lama 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan berkas perkara.
(2) Dalam hal terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan banding, permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) hari setelah
putusan dibacakan.
(3) Pengadilan negeri melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada
pengadilan tinggi paling lama 3 (tiga) hari setelah permohonan banding diterima.
(4) Pengadilan tinggi memeriksa dan memutus perkara banding sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding
diterima.
(5) Putusan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan
putusan terakhir dan mengikat serta tidak ada upaya hukum lain.
Pasal 256
(1) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 ayat (1) dan ayat
(4) harus sudah disampaikan kepada penuntut umum paling lambat 3 (tiga) hari
setelah putusan dibacakan.
(2) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 harus dilaksanakan
paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan diterima oleh jaksa.
Pasal 257
(1) Putusan pengadilan terhadap kasus pelanggaran pidana Pemilu yang menurut
Undang-Undang ini dapat memengaruhi perolehan suara Peserta Pemilu harus
sudah selesai paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu
secara nasional.
(2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Salinan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah
1
diterima KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota dan Peserta Pemilu pada
hari putusan pengadilan tersebut dibacakan.
Bagian Kedua
Perselisihan Hasil Pemilu
Pasal 258
(1) Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu
mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.
(2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang
dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.
Pasal 259
(1) Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara
nasional, Peserta Pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan
hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Kostitusi.
(2) Peserta Pemilu mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 X 24 (tiga kali dua puluh
empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara
nasional oleh KPU.
(3) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan
Mahkamah Konstitusi.
BAB XXI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 260
Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya,
dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan
paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 261
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar
mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperiukan untuk
pengisian daftar pemilih, dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
1
Pasal 262
Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancarnan kekerasan atau dengan
menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran pemilih
menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu menurut
Undang-Undang ini, dipidana penjara paling singkat 12 (dua betas) bulan dan paling
lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua
belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 263
Petugas PPS/PPLN yang dengan sengaja tidak memperbaiki daftar pemilih sementara
setelah mendapat masukan dari masyarakat dan Peserta Pemilu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6), Pasal 37 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (5) dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan
dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Pasal 264
Setiap anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN yang
tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota,
Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri
dalam melakukan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar
pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara, penetapan
dan pengumuman daftar pemilih tetap, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang
merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh
enam juta rupiah).
Pasal 265
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan
seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan atau memberikan uang
atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota DPD dalam
Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dipidana penjara paling singkat 12
(dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga
puluh enam juta rupiah).
Pasal 266
Setiap orang yang dengan sengaja membuat surat atau dokumen dengan maksud
1
untuk memakai atau menyuruh orang memakai, atau setiap orang yang dengan
sengaja menggunakan surat atau dokumen yang dipalsukan untuk menjadi bakal
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota atau calon Peserta
Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan dalam Pasal 73, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh
puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta
rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Pasal 267
Setiap anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak
menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota
dalam malaksanakan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00
(enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 268
Setiap anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak
menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota
dalam pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu dan verifikasi
kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) dan dalam Pasal 70
ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp.6.000.000,00 (enam
juta rupiah) dan paling banyak Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 269
Setiap orang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah
ditetapkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota untuk masing-masing
Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, dipidana penjara paling singkat
3 (tiga) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit
Rp.3.000.000,00 (tiga juta rupiah) atau paling banyak Rp.12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah).
Pasal 270
Setiap orang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, atau huruf i dipidana penjara paling singkat 6
(enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit
Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp.24.000.000.00 (dua puluh
1
empat juta rupiah).
Pasal 271
Setiap pelaksana kampanye yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 ayat (2), dikenai pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp.30.000.000,00 (tiga puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 272
Setiap Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/hakim Agung/hakim Konstitusi, hakim-hakim
pada semua badan peradilan, Ketua/Wakil Ketua dan anggota Badan Pemeriksa
Keuangan, Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubemur Bank Indonesia
serta Pejabat BUMN/BUMD yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 ayat (3) dikenai pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp.25.000.000,00 (dua
puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 273
Setiap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia, kepala desa, dan perangkat desa, dan anggota badan
permusyaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
84 ayat (3) dan ayat (5) dikenai pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 274
Pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau
materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun
tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih Peserta
Pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu
sehingga surat suaranya tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling
banyak Rp24.000.000.00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 275
Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai
Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi,
sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota yang
terbukti melakukan tindak pidana Pemilu dalam pelaksanaan kampanye Pemilu
1
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda
paling sedikit Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 276
Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang
ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal
133 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000.00
(lima miliar rupiah).
Pasal 277
Peserta pemilu yang terbukti menerima sumbangan dan/atau bantuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 139 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua
belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit
Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp.36.000.000,00 (tiga
puluh enam juta rupiah).
Pasal 278
Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu
jalannya kampanye Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp.24.000.000,00 (dua puluh
empat juta rupiah).
Pasal 279
(1) Pelaksana kampanye yang karena kelalaiannya mengakibatkan terganggunya
tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat desa/kelurahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 107 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit
Rp.3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp.12.000.000,00 (dua
belas juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan karena
kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit
Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp.18.000.000,00
(delapan belas juta rupiah).
1
Pasal 280
Setiap pelaksana, peserta, atau petugas Kampanye yang terbukti dengan sengaja
atau lalai yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24
(dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah)
dan paling banyak Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 281
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan
dana kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 dan Pasal 135 ayat (1) dan
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam
juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 282
Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau hasil jajak pendapat dalam masa
tenang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 283
Ketua KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi
jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp120.000.000,00
(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp240.000.000,00 (dua ratus empat
puluh juta rupiah).
Pasal 284
Setiap perusahaan pencetak surat suara yang dengan sengaja mencetak surat suara
melebihi jumlah yang ditetapkan oleh KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan
dan paling lama 48 (empat puluh delapan) bulan dan denda paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
Pasal 285
Setiap perusahaan pencetak surat suara yang tidak menjaga kerahasian, keamanan,
dan keutuhan surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 48
1
(empat puluh delapan) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 286
Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan
hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya
dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam)
bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 287
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih atau
melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman
pelaksanaan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6
(enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh
empat juta rupiah).
Pasal 288
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara
seorang pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu
mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua beias) bulan dan paling lama
36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000, 00 (dua belas
juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 289
Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara mengaku dirinya
sebagai orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00
(enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal 290
Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja memberikan
suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda
paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00
1
(delapan belas juta rupiah).
Pasal 291
Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam
puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)
dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 292
Seorang majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja
untuk memberikan suaranya pada pemungutan suara, kecuali dengan alasan bahwa
pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah).
Pasal 293
Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan
suara yang sudah disegel, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua
belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga
puluh enam juta rupiah).
Pasal 294
Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak memberikan surat suara
pengganti hanya satu kali kepada pemilih yang menerima surat suara yang rusak
dan tidak mencatat surat suara yang rusak dalam berita acara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 155 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp 3.000.000,00
(tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 295
Setiap orang yang bertugas membantu pemilih yang dengan sengaja memberitahukan
pifihan pemilih kepada orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12
(dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan
paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 296
(1) Dalam hal KPU kabupaten/kota tidak menetapkan pemungutan suara ulang di
1
TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 ayat (2) sementara persyaratan
dalam Undang-Undang ini telah terpenuhi anggota KPU kabupaten/kota dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah)
dan paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(2) Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak melaksanakan ketetapan
KPU kabupaten/kota untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di TPS
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12
(dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
dan paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 297
Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya berita
acara pemungutan dan penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara
yang sudah disegel, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas)
bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
Pasal 298
Setiap orang yang dengan sengaja mengubah berita acara hasil penghitungan suara
dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling
sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 299
(1) Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPK yang karena
kelalaiannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara hasil
rekapitulasi penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat penghitungan
suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp 6.000.000,00 (enam juta
rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000,00 (duabelas juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan karena
kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas)
bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00
(dua puluh empat juta rupiah).
1
Pasal 300
Setiap orang yang dengan sengaja merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem
informasi penghitungan suara hasil Pemilu, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 60 (enam puluh) bulan dan paling lama 120 (seratus dua puluh) bulan dan
denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 301
Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak membuat dan
menandatangani berita acara perolehan suara Peserta Pemilu dan calon anggota DPR,
DPD, dan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh
enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling
banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 302
Setiap KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak memberikan salinan satu eksemplar
berita acara pemungutan dan penghitungan suara, dan sertifikat hasil penghitungan
suara kepada saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, PPS, dan PPK melalui
PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (2) dan ayat (3), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan
denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal 303
Setiap KPPS/KPPSLN yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan
menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan
suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara, kepada PPK melalui PPS atau kepada
PPLN bagi KPPSLN pada hari yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat
(4) dan ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam
juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal 304
Setiap Pengawas Pemilu Lapangan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara
tersegel kepada PPK dan Panwaslu kecamatan yang tidak mengawasi penyerahan
kotak suara tersegel kepada KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal
180 ayat (6), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00
1
(enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.0OO.0O0,00 (dua puluh empat juta
rupiah).
Pasal 305
Setiap PPS yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di
wilayah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda
paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00
(dua belas juta rupiah).
Pasal 306
Dalam hal KPU tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara nasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 199 ayat (2), anggota KPU dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24
(dua puluh empat) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling
sedikit Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 307
Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat yang mengumumkan
hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas)
bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal 308
Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat yang tidak
memberitahukan bahwa hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi
Pemilu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta
rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal 309
Ketua dan anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan
denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
1
Pasal 310
Ketua dan anggota Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu
kecamatan, dan/atau Pengawas Pemilu Lapangan/pengawas Pemilu Luar Negeri yang
dengan sengaja tidak menindaklanjuti temuan dan/atau laporan pelanggaran Pemilu
yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS/
PPLN, dan/atau KPPS/KPPSLN dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh
enam) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling
banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam Juta rupiah).
Pasal 311
Dalam hal penyelenggara Pemilu melakukan pelanggaran pidana Pemilu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 260, Pasal 261, Pasal 262, Pasal 265, Pasal 266, Pasal 269,
Pasal 270, Pasal 276, Pasal 278, Pasal 281, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289,
Pasal 290, Pasal 291, Pasal 293, Pasal 295, Pasal 297, Pasal 298, dan Pasal 300, maka
pidana bagi yang bersangkutan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ketentuan pidana
yang ditetapkan dalam pasal-pasal tersebut.
BAB XXII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 312
Ketentuan mengenai keikutsertaan partai politik lokal di Aceh dalam Pemilu anggota
DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sepanjang tidak diatur khusus dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, berlaku ketentuan
Undang-Undang ini.
Pasal 313
Hasil perolehan suara dari pemilih di luar negeri dimasukkan sebagai perolehan suara
untuk daerah pemilihan Provinsi DKI Jakarta II.
Pasal 314
(1) Dalam hal terdapat daerah pemilihan anggota DPRD provinsi yang sama dengan
daerah pemilihan anggota DPR pada Pemilu 2004, maka daerah pemilihan DPRD
provinsi tersebut disesuaikan dengan perubahan daerah pemilihan anggota DPR.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang penyesuaian perubahan daerah pemilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan KPU.
1
BAB XXIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 315
Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3%
(tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat
perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2
(setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya
4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan
sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.
Pasal 316
Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat
mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan:
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau
b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar
salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal
jumlah kursi; atau
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk partai politik baru dengan nama
dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi;
atau
d. memiliki kursi di DPR Rl hasil Pemilu 2004; atau
e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik Peserta
Pemilu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 317
Untuk Pemilu tahun 2009 KPU melakukan penataan ulang daerah pemilihan bagi
provinsi dan kabupaten/kota induk serta provinsi dan kabupaten/kota yang dibentuk
setelah Pemilu tahun 2004.
Pasal 318
Dalam Pemilu tahun 2009, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih.
1
BAB XXIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 319
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4277) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4631), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 320
Undang-Undang ini mulai berlaku padatanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Maret 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
1
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Maret 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 51
Salinan Sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
1
PENJELASAN
ATA S
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008
TENTANG
PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN
DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
I. UMUM
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”. Makna dari” “kedaulatan berada di tangan
rakyat” dalam hal ini ialah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab,
hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan
membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan
masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya
pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui
pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan
aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua
pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai
pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.
Sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
diselenggarakan berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum dimaksud diselenggarakan dengan
menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia
terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan
aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah.
Dengan asas langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk
memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya,
tanpa perantara. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin
kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa
diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,
kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. Setiap warga negara yang berhak
memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa
1
pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya
oleh negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. Dalam
memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui
oleh pihak mana pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan
tidak dapat diketahui oleh orang lain. Dalam penyelenggaraan pemilu ini,
penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu,
pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan
bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Setiap pemilih
dan peserta pemilu mendapat. perlakuan yang sama, serta bebas dan kecurangan
pihak manapun.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang majemuk dan berwawasan
kebangsaan, partai politik merupakan saluran untuk memperjuangkan aspirasi
masyarakat, sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekrutmen pemimpin baik
untuk tingkat nasional maupun daerah, serta untuk rekrutmen pimpinan berbagai
komponen penyelenggara negara. Oleh karena itu, peserta pemilu untuk memilih
anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Selain itu, untuk mengakomodasi
aspirasi keanekaragaman daerah, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dibentuk Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) yang anggota-anggotanya dipilih dari perseorangan yang memenuhi
persyaratan dalam pemilihan umum bersamaan dengan pemilihan umum untuk
memilih anggota DPR dan DPRD.
Dalam pemilihan umum, keberadaan partai politik sebagai peserta ditandai
dengan tanda gambar dan nama-nama calon anggota lembaga perwakilan dari
partai yang bersangkutan. Untuk memudahkan rakyat dalam menentukan
pilihannya, tanda gambar partai politik peserta pemilihan umum tentu harus
berbeda antara satu partai politik dengan partai politik lainnya dan tidak boleh
menggunakan simbol-simbol/tanda identitas kelembagaan yang dlgunakan oleh
gerakan separatis atau organisasi terlarang. Bagi calon anggota DPD, keberadaan
sebagai peserta pemilihan umum ditandai dengan pasfoto diri dan nama-nama
calon anggota DPD yang bersangkutan. Pengaturan lebih lanjut mengenai
keikutsertaan partai politik dan perseorangan dalam pemilihan umum dituangkan
dalam pasal-pasal undang-undang ini.
Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai
derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme
pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilihan umum harus
dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Oleh karena itu,
dipandang perlu untuk mengganti landasan hukum penyelenggaraan pemilihan
umum yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
1
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Menjadi Undang-Undang, dengan undang-undang baru yang lebih komprehensif
dan sesuai untuk menjawab tantangan permasalahan baru dalam penyelenggaraan
pemilihan umum.
Di dalam undang-undang ini diatur beberapa perubahan pokok tentang
penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, khususnya yang berkaitan
dengan penguatan persyaratan peserta pemilu, kriteria penyusunan daerah
pemilihan, sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka terbatas,
dan penetapan calon terpilih, serta penyelesaian sengketa pemilu. Perubahan-perubahan ini dilakukan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat melalui
langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana yang selanjutnya akan
menguatkan pula sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana dimaksudkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
1
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “masa kampanye” adalah tenggang
waktu berlakunya kampanye yang ditetapkan undang-undang
ini.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat(1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
1
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
“kantor tetap” adalah kantor yang layak, milik sendiri, sewa,
atau pinjam pakai, serta mempunyai alamat tetap.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Pemilu sebelumnya” adalah mulai Pemilu
tahun 2009 dan selanjutnya.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”
dalam arti taat menjalankan kewajiban agamanya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan tertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia” dalam ketentuan ini termasuk Warga Negara Indonesia
yang karena alasan tertentu pada saat pendaftaran calon, bertempat
tinggal di luar negeri, dan dengan melengkapi persyaratan surat keterangan
dari Perwakilan Negara Republik Indonesia setempat.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “bentuk lain yang sederajaf antara lain Sekolah
Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), Pondok Pesantren Salafiah,
Sekolah Menengah Theologia Kristen, dan Sekolah Seminari.
Kesederajatan pendidikan dengan SMA ditetapkan oleh Pemerintah
1
dan/atau Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Orang yang dipidana penjara karena alasan politik dikecualikan dari
ketentuan ini.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “sehat jasmani dan rohani” adalah sehat
yang dibuktikan dengan surat kesehatan dari rumah sakit Pemerintah
termasuk puskesmas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “bersedia bekerja penuh waktu” adalah
bersedia untuk tidak menekuni pekerjaan lain apa pun yang dapat
menggangu tugas dan kewajibannya sebagai anggota DPD.
Huruf k
Surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali dibuktikan
dengan surat keterangan telah diterima dan diteruskan oleh instansi
terkait.
Yang dimaksud dengan “keuangan negara” termasuk APBN/APBD.
Huruf I
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
1
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dinyatakan batal dalam ketentuan ini adalah dukungan kepada
semua calon yang didukung.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Huruf a.
Cukup jelas.
Huruf b
Proses pembentukan pengurus partai politik berdasarkan mekanisme
partai politik masing-masing.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “penyertaan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) sesuai dengan
peraturan perundang-undangan” adalah sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 ayat (5), Pasal 20, dan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “departemen” adalah departemen yang
membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “surat keterangan mengenai perolehan kursi”
adalah surat keputusan KPU mengenai perolehan kursi partai politik
yang telah mengikuti Pemilu sebelumnya.
Pasal 16
Cukup jelas.
1
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat(1)
Yang dimaksud dengan data kependudukan adalah data penduduk
dan data penduduk potensial Pemilih Pemilu (DP4).
1
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat(3)
Pengumuman daftar pemilih sementara dilakukan dengan cara
menempelkannya pada sarana pengumuman desa/kelurahan dan/
atau sarana umum yang mudah dijangkau dan dilihat masyarakat.
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari berdasarkan kalender.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “masukan dan tanggapan dari masyarakat
dan Peserta Pemilu tentang daftar pemilih sementara” adalah untuk
menambah data pemilih yang memenuhi persyaratan tetapi belum
terdaftar dan/atau mengurangi data pemilih karena tidak memenuhi
persyaratan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat(2)
Cukup jelas.
1
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “salinan daftar pemilih tetap” adalah salinan
yang dalam bentuk kopi peranti lunak (softcopy), cakram padat
(compact disk), atau fotokopi. Salinan atau fotokopi Daftar Pemilih
Tetap sebagaimana dimaksud dapat diperoleh di Kantor KPU
kabupaten/kota bersangkutan.
Pasal 39
Ayat(1)
Yang dimaksud dengan “mengumumkan daftar pemilih tetap” adalah
menempelkan salinan daftar pemilih tetap di papan pengumuman
dan/atau tempat yang mudah dijangkau dan dilihat oleh masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat(1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” meliputi keadaan karena
menjalankan tugas pada saat pemungutan suara atau karena kondisi
tidak terduga di luar kemauan dan kemampuan yang bersangkutan,
misalnya karena sakit, menjadi tahanan, tertimpa bencana alam
sehingga tidak dapat menggunakan hak suaranya di TPS yang
bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
1
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat(1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa” dalam arti taat menjalankan kewajiban agamanya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ‘bertempat tinggal di wilayah Negara
Kesatuan Repubiik Indonesia” dalam ketentuan ini termasuk
Warga Negara Indonesia yang karena alasan tertentu pada
saat pendaftaran calon, bertempat tinggal di luar negeri, dan
dengan melengkapi persyaratan surat keterangan dari
Perwakilan Negara Republik Indonesia setempat.
Huruf d
Persyaratan sebagaimana tercantum dalam ketentuan ini tidak
dimaksudkan untuk membatasi hak politik warga negara
penyandang cacat yang memiliki kemampuan untuk
melakukan tugasnya sebagai anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “bentuk lain yang sederajat” antara
lain Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), Pondok
Pesantren Salafiah, Sekolah Menengah Teologia Kristen, dan
1
Sekolah Seminari.
Kesederajatan pendidikan dengan SMA ditetapkan oleh
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Orang yang dipidana penjara karena alasan politik
dikecualikan dari ketentuan ini.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “sehat jasmani dan rohani” adalah
sehat yang dibuktikan dengan surat kesehatan dari rumah
sakit Pemerintah termasuk puskesmas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
yang dimaksud dengan “bersedia bekerja penuh waktu” adalah
bersedia untuk tidak menekuni pekerjaan lain apa pun yang
dapat menggangu tugas dan kewajibannya sebagai anggota
DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Huruf k
Surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali
dibuktikan dengan surat keterangan telah diterima dan
diteruskan oleh instansi terkait.
Yang dimaksud dengan “keuangan negara” termasuk APBN/
APBD.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
1
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
1) Bukti kelulusan dalam bentuk fotokopi yang dilegalisasi
atas ijazah, STTB, syahadah dari satuan pendidikan yang
terakreditasi, atau ijazah, syahadah, STTB, sertifikat,
dan surat keterangan lain yang menerangkan kelulusan
dari satuan pendidikan atau program pendidikan yang
diakui sama dengan kelulusan satuan pendidikan jenjang
pendidikan menengah. Termasuk dalam kategori ini adalah
surat keterangan lain yang menerangkan bahwa seseorang
diangkat sebagai guru atau dosen berdasarkan
keahliannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2) KPU dalam menyusun peraturan KPU dalam kaitan ini
berkoordinasi dengan Menteri Pendidikan Nasional dan
Menteri Agama.
3) Legalisasi oleh Pemerintah dalam hal ini Departemen
Pendidikan Nasional, Departemen Agama, atau Pemerintah
Daerah dalam hal ini Dinas Pendidikan, kantor wilayah/
kantor Departemen Agama sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Persyaratan sebagaimana tercantum dalam ketentuan ini tidak
dimaksudkan untuk membatasi hak politik warga negara
penyandang cacat yang memiliki kemampuan untuk
melakukan tugasnya sebagai anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
1
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Bagi pegawai negeri sipil yang sudah mengundurkan diri dapat
memperoleh kartu tanda anggota partai politik.
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Pengurus Pusat Partai Politik adalah Ketua
Dewan Pimpinan Pusat partai politik atau nama lainnya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan Pengurus Partai Politik tingkat provinsi adalah
Ketua Dewan Pimpinan daerah partai politik tingkat provinsi atau
nama lainnya.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan Pengurus Partai Politik tingkat kabupaten/
kota adalah Ketua Dewan Pimpinan daerah partai politik tingkat
kabupaten/kota atau nama lainnya.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
1
Pasal 58
Ayat(1)
Pengembalian dapat berupa penolakan karena tidak memenuhi
persyaratan sebagai bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan
DPRD kabupaten/kota, atau berupa permintaan untuk melengkapi,
memperbaiki atau mengganti kelengkapan dokumen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam menyusun peraturan KPU, KPU berkoordinasi dengan instansi
terkait.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “masukan dan tanggapan dari masyarakaf
adalah yang berkaitan dengan persyaratan administrasi calon
sementara anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
yang disertai identitas diri pemberi masukan dan tanggapan.
Ayat (6)
Pengumuman persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon
sementara dalam ketentuan ini dilakukan sekurang-kurangnya pada
1 (satu) media cetak selama satu hari dan pada 1 (satu) media
elektronik selama satu hari.
Pasal 62
Cukup jelas.
1
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat(1)
Pengumuman Daftar Calon Tetap oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota dalam ketentuan ini dilakukan sekurang-kurangnya
pada 1 (satu) media cetak dan media eiektronik nasionai untuk
Daftar Calon Tetap anggota DPR dan 1 (satu) media cetak dan media
eiektronik daerah untuk Daftar Calon Tetap anggota DPRD provinsi
dan DPRD kabupaten/kota selama satu hari.
Ayat (2)
Pengumuman persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon
sementara dalam ketentuan ini dilakukan sekurang-kurangnya pada
1 (satu) media cetak selama satu hari dan pada 1 (satu) media
eiektronik selama satu hari.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 67
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
1) Bukti kelulusan dalam bentuk fotokopi yang dilegalisasi
atas ijazah, STTB, syahadah dari satuan pendidikan yang
terakreditasi, atau ijazah, syahadah, STTB, sertifikat,
dan surat keterangan lain yang menerangkan kelulusan
dari satuan pendidikan atau program pendidikan yang
diakui sama dengan kelulusan satuan pendidikan jenjang
pendidikan menengah. Termasuk dalam kategori ini adalah
surat keterangan lain yang menerangkan bahwa seseorang
1
diangkat sebagai guru atau dosen berdasarkan
keahliannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2) KPU dalam menyusun peraturan KPU dalam kaitan ini
berkoordinasi dengan Menteri Pendidikan Nasionai dan
Menteri Agama.
3) Legalisasi oleh Pemerintah dalam hal ini Departemen
Pendidikan Nasional, Departemen Agama, atau Pemerintah
Daerah dalam hal ini Dinas Pendidikan, kantor wilayah/
kantor Departemen Agama sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Persyaratan sebagaimana tercantum dalam ketentuan ini tidak
dimaksudkan untuk membatasi hak politik warga negara
penyandang cacat yang memiliki kemampuan untuk
melakukan tugasnya sebagai anggota DPD.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat(1)
Cukup jelas.
1
Ayat (2)
Peran KPU kabupaten/kota terbatas verifikasi terhadap dukungan
minimal Pemilih.
Ayat(3)
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota membantu penyebarluasan
pengumuman tersebut di daerah masing-masing.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat(1)
Yang dimaksud dengan “masukan dan tanggapan dari masyarakat”
adalah yang berkaitan dengan persyaratan administrasi calon
sementara anggota DPD dan dapat disampaikan melalui KPU provinsi
atau KPU kabupaten/kota.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat(1)
1
Yang dimaksud dengan “organisasi yang ditunjuk oleh Peserta
Pemilu” antara lain organisasi sayap partai politik Peserta Pemilu
dan organisasi penyelenggara kegiatan (event organizer).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan ketertiban umum adalah suatu keadaan
yang memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan,
pelayanan umum, dan kegiatan masyarakat dapat berlangsung
sebagaimana biasanya.
Huruf f
1
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “tempat pendidikan” pada ayat ini
adalah gedung dan halaman sekolah/perguruan tinggi.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dilarang mengikutsertakan” pada ayat ini
adalah dilarang secara aktif melibatkan pejabat dan/atau pegawai
negeri sipil serta anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam kegiatan kampanye pemilihan
umum sebagai panitia pelaksana kampanye dan/atau juru kampanye.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Yang dimaksud menjanjikan atau memberi adalah inisiatifnya berasal dari
pelaksana kampanye yang menjanjikan dan memberikan untuk
mempengaruhi pemilih.
Yang dimaksud materi dalam Pasal ini tidak termasuk barang-barang yang
merupakan atribut kampanye pemilu, antara lain kaos, bendera, topi dan
atribut lainya.
1
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dilarang berisikan hal yang dapat
mengganggu kenyamanan” antara lain bersifat fitnah, menghasut,
menyesatkan dan/atau bohong; menonjolkan unsur kekerasan,
cabul, perjudian, atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan
antar golongan; memperolok-olokkan, merendahkan, melecehkan,
dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia
Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kesempatan yang sama” adalah peluang
yang sama untuk menggunakan kolom pada media cetak dan jam
tayang pada lembaga penyiaran bagi semua peserta kampanye.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat(1)
Yang dimaksud dengan “blocking segment” adalah kolom pada media
cetak dan sub-acara pada lembaga penyiaran yang digunakan untuk
keperluan pemberitaan bagi publik.
Yang dimaksud dengan “blocking time” adalah hari/tanggal
penerbitan media cetak dan jam tayang pada lembaga penyiaran
yang digunakan untuk keperluan pemberitaan bagi publik.
1
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat(1)
Yang dimaksud dengan “Komisi Penyiaran Indonesia” adalah Komisi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran.
Yang dimaksud dengan “Dewan Pers” adalah Dewan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat(3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
KPU dalam merumuskan peraturan tentang pemberitaan, penyiaran, iklan
kampanye, dan pemberian sanksi berkoordinasi dengan Komisi Penyiaran
Indonesia dan Dewan Pers.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
1
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Ayat(1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tindak pidana pemilu pada tahap
pelaksanaan kampanye di tingkat desa/kelurahan”, antara lain: tidak
adil terhadap peserta pemilu, mengubah jadwal yang menguntungkan
salah satu peserta pemilu dan merugikan peserta lain, melepas atau
menyobek alat peraga kampanye, merusak tempat kampanye,
berbuat keonaran, mengancam pelaksana dan atau peserta
kampanye.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Ayat(1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
1
Yang dimaksud dengan “tindak pidana pemilu pada tahap
pelaksanaan kampanye di tingkat kecamatan”, antara lain: tidak
adil terhadap peserta pemilu, mengubah jadwal yang menguntungkan
salah satu peserta pemilu dan merugikan peserta lain, melepas atau
menyobek alat peraga kampanye, merusak tempat kampanye,
berbuat keonaran, mengancam pelaksana dan atau peserta
kampanye.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat(2)
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Ayat(1)
Penyelesaian dalam ketentuan ini dapat berupa peringatan tertulis,
penghentian kegiatan kampanye.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
1
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Ayat(1)
Yang dimaksud dengan “menetapkan penyelesaian” dapat bersifat
final, dapat juga bersifat tindak lanjut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat(3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
1
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sumbangan yang sah menurut hukum
dari pihak lain” adalah sumbangan yang tidak berasal dari
tindak pidana, bersifat tidak mengikat, berasal dari
perseorangan, kelompok, dan/atau perusahaan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “jasa” adalah pelayanan/pekerjaan yang
dilakukan pihak lain yang manfaatnya dinikmati oleh penerima jasa.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat(6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Termasuk yang harus dibukukan adalah kontrak-kontrak yang dibuat
maupun pengeluaran yang dilakukan sebelum masa yang diatur dalam
ketentuan ini tetapi pelaksanaan dan penggunaannya dilakukan pada
saat kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2).
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “identitas yang jelas” adalah nama dan alamat
penyumbang.
Pasal 132
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
1
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sumbangan yang sah menurut hukum
dari pihak lain” adalah sumbangan yang tidak berasal dari
tindak pidana, bersifat tidak mengikat, berasal dari
perseorangan, kelompok, dan/atau perusahaan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “jasa” adalah pelayanan/pekerjaan yang
dilakukan pihak lain yang manfaatnya dinikmati oleh penerima jasa.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat(5)
Cukup jelas.
Ayat(6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pengumuman dapat dilakukan melalui papan pengumuman dan
internet.
Pasal 136
Ayat(1)
1
Dalam menetapkan kantor akuntan publik yang memenuhi
persyaratan di setiap provinsi, KPU bekerjasama dan memperhatikan
masukan dari Ikatan Akuntan Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dukungan perlengkapan pemungutan suara
lainnya” meliputi sampul kertas, tanda pengenal KPPS/KPPSLN, tanda
pengenal petugas keamanan TPS/TPSLN, tanda pengenal saksi, karet
pengikat surat suara, lem/perekat, kantong plastik, ballpoint,
gembok, spidol, formulir untuk berita acara dan sertifikat, sticker
nomor kotak suara, tali pengikat alat pemberi tanda pilihan, dan
alat bantu tuna netra.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
1
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 143
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat(3)
KPU menetapkan peraturan tentang format surat suara setelah
berkonsultasi dengan Pemerintah dan DPR.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat(3)
Yang dimaksud dengan “memverifikasi jumlah”:
- surat suara yang telah dicetak adalah memverifikasi jumlah surat
suara yang dicetak sesuai dengan ketentuan;
- surat suara yang dicetak yang tidak sesuai dengan ketentuan
untuk dimusnahkan;
- surat suara yang dikirim adalah memverifikasi jumlah surat suara
yang sudah dikirim ke KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota;
- surat suara yang masih tersimpan adalah memverifikasi jumlah
surat suara yang masih tersimpan di percetakan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
1
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Selain menunjukkan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat ini, pemilih harus menunjukkan kartu tanda penduduk
atau identitas lalnnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Petugas yang menangani ketenteraman, ketertiban, dan keamanan
dalam ketentuan ini berasal dari satuan pertahanan sipil/
perlindungan masyarakat.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat(7)
Cukup jelas.
1
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Ayat(1)
Huruf a
Pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap pada TPSLN
dalam melaksanakan haknya untuk memilih menunjukkan alat
bukti diri berupa paspor atau keterangan lain yang dikeluarkan
oleh Kantor Perwakilan Republik Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Cukup jel.as.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
1
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Ayat(1)
Yang dimaksud dengan “tanda khusus” adalah tanda yang menandai
pemilih dengan tinta sehingga tanda itu jelas dan mudah terlihat,
tidak terhapus sampai penghitungan suara dilaksanakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 171
Cukup jelas.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173
Cukup jelas.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.
Pasal 176
Cukup jelas.
Pasal 177
Cukup jelas.
Pasal 178
Cukup jelas.
1
Pasal 179
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Format berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan
sertifikat penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibuat dengan menyediakan tempat untuk memuat hasil
penghitungan suara dan penandatanganannya di halaman yang sama.
Dalam hal penyediaan tempat dimaksud tidak memungkinkan, KPU
menyediakan kolom untuk tanda tangan pada setiap halaman.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 180
Ayat(1).
Cukup jelas.
Ayat(2)
Sertifikat hasil penghitungan suara yang disampaikan kepada saksi
peserta pemilu dan Panwaslu lapangan yang hadir memuat surat
SLara yang diterima, yang digunakan, yang rusak, yang keliru di
cdblos, sisa surat suara cadangan, jumlah pemilih dalam daftar
pemilih tetap, dan dari TPS lain, serta jumlah perolehan suara sah
tiap peserta pemilu.
Ayat(3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat(5)
Yang dimaksud dengan “surat suara” adalah surat suara terpakai,
surat suara tidak terpakai, surat suara rusak, dan sisa surat suara
cadangan yang masing-masing dimasukkan ke dalam amplop
terpisah.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 181
Cukup jelas.
Pasal 182
Cukup jelas.
1
Pasal 183
Cukup jelas.
Pasal 184
Cukup jelas.
Pasal 185
Yang dimaksud dengan “surat suara” adalah surat suara terpakai, surat
suara tidak terpakai, surat suara rusak, dan sisa surat suara cadangan
yang masing-masing dimasukkan ke dalam amplop terpisah.
Pasal 186
Cukup jelas.
Pasal 187
Cukup jelas.
Pasal 188
Cukup jelas.
Pasal 189
Cukup jelas.
Pasal 190
Cukup jelas.
Pasal 191
Cukup jelas.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Cukup jelas.
Pasal 194
Cukup jelas.
Pasal 195
Cukup jelas.
Pasal 196
Cukup jelas.
Pasal 197
Cukup jelas.
Pasal 198
Cukup jelas.
1
Pasal 199
Cukup jelas.
Pasal 200
Cukup jelas.
Pasal 201
Cukup jelas.
Pasal 202
Cukup jelas.
Pasal 203
Cukup jelas.
Pasal 204
Cukup jelas.
Pasal 205
Cukup jelas.
Pasal 206
Cukup jelas.
Pasal 207
Cukup jelas.
Pasal 208
Cukup jelas.
Pasal 209
Cukup jelas.
Pasal 210
Cukup jelas.
Pasal 211
Cukup jelas.
Pasal 212
Cukup jelas.
Pasal 213
Cukup jelas.
Pasal 214
Cukup jelas.
Pasal 215
Cukup jelas.
1
Pasal 216
Cukup jelas.
Pasal 217
Cukup jelas.
Pasal 218
Ayat(1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengunduran diri calon terpilih yang dimaksud dalam
ketentuan ini dinyatakan dengan surat penarikan pencalonan
calon terpilih oleh Partai Politik Peserta Pemilu berdasarkan
surat pengunduran diri calon terpilih yang bersangkutan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 219
Cukup jelas.
Pasal 220
Cukup jelas.
Pasal 221
Cukup jelas.
Pasal 222
Cukup jelas.
Pasal 223
Cukup jelas.
1
Pasal 224
Cukup jelas.
Pasal 225
Cukup jelas.
Pasal 226
Cukup jelas.
Pasal 227
Cukup jelas.
Pasal 228
Ayat(1)
Yang dimaksud dengan “Pemilu lanjutan” adalah Pemilu untuk
melanjutkan tahapan yang terhenti dan/atau tahapan yang belum
dilaksanakan.
Aya.t (2)
Cukup jelas.
Pasal 229
Ayat(1)
Yang dimaksud dengan “Pemilu susulan” adalah Pemilu untuk
melaksanakan semua tahapan Pemilu yang tidak dapat dilaksanakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 230
Cukup jelas.
Pasal 231
Cukup jelas.
Pasal 232
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Kompetensi dan pengaiaman sebagai pemantau Pemilu di
negara lain dibuktikan dengan rekam jejak yang
bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas.
1
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 233
Ayat(1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud “daerah yang ingin dipantau” adalah wilayah
administrasi pemerintahan dapat berupa desa/kelurahan,
kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat(5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 234
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat(2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
1
Ayat (4)
Persyaratan bagi pemantau luar negeri sesuai dengan persyaratan
bagi pemantau sebagaimana termuat di Pasal 232.
Pasal 235
Cukup jelas.
Pasal 236
Cukup jelas.
Pasal 237
Cukup jelas.
Pasal 238
Huruf a
Yang dimaksud dengan kegiatan yang mengganggu proses
pelaksanaan Pemilu antara lain penggunaan alat elektronik yang
dapat mengganggu sistem komunikasi dan informasi Pemilu.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 239
Cukup jelas.
1
Pasal 240
Cukup jelas.
Pasal 241
Yang dimaksud dengan “menindaklanjuti penetapan pencabutan status
dan hak pemantau asing” dalam ketentuan ini adalah melakukan tindakan
hukum yang diperlukan terhadap pemantau asing sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
Pasal 242
Pelaporan rencana pelaksanaan kegiatan pemantauan Pemilu kepada KPU,
KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota dimaksudkan agar KPU, KPU provinsi,
dan KPU kabupaten/kota dapat mengatur keseimbangan distribusi
penempatan pemantau Pemilu sehingga tidak terjadi penumpukan
pemantau Pemilu di suatu lokasi tertentu.
Pelaporan rencana kegiatan pemantauan ofeh pemantau kepada kepolisian
ditujukan untuk memudahkan kepolisian memberikan pelayanan
perlindungan hukum dan keamanan sesuai ketentuan Pasal 236 ayat (1)
huruf a, disamping untuk memenuhi kewajiban melaporkan diri. Bagi
pemantau dalam negeri, pelaporan rencana pemantauan Pemilu disesuaikan
dengan cakupan pemantauan. Dalam hal cakupan pemantauan meliputi
hanya satu wilayah kabupaten/kota saja, pelaporan kehadiran pemantau
di kabupaten/kota tersebut dilaporkan kepada kepala kepolisian resor
setempat. Dalam hal cakupan pemantauan meliputi lebih dari satu
kabupaten/kota, maka pelaporan dilakukan kepada kepala kepolisian
daerah provinsi.
Bagi pemantau asing, pelaporan rencana pemantauan Pemilu ditujukan
kepada kepala kepolisian daerah provinsi, mengikuti ketentuan perundang-undangan yang mengatur pelaporan keberadaan orang asing.
Pasal 243
Cukup jelas.
Pasal 244
Cukup jelas.
Pasal 245
cukup jelas
Pasal 246
Cukup jelas.
Pasal 247
Cukup jelas.
1
Pasal 248
Cukup jelas.
Pasal 249
Cukup jelas.
Pasal 250
Cukup jelas.
Pasal 251
Cukup jelas.
Pasal 252
Cukup jelas.
Pasal 253
Cukup jelas.
Pasal 254
Ayat(1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “hakim khusus” adalah hakim karier pada
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang ditetapkan secara
khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana
Pemilu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 255
Ayat(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “upaya hukum lain” adalah kasasi ataupun
peninjauan kembali (PK)
Pasal 256
Cukup jelas.
1
Pasal 257
Ayat(1)
Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan” dalam ketentuan ini
adalah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 258
Cukup jelas.
Pasal 259
Ayat(1)
Yang dimaksud dengan “pengajuan permohonan pembatalan
penetapan hasil penghitungan perolehan suara” yang diajukan kepada
Mahkamah Konstitusi hanya yang berkaitan dengan yang dimohonkan
untuk dibatalkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 260
Cukup jelas.
Pasal 261
Cukup jelas.
Pasal 262
Cukup jelas.
Pasal 263
Cukup jelas.
Pasal 264
Cukup jelas.
Pasal 265
Cukup jelas.
Pasal 266
Cukup jelas.
1
Pasal 267
Cukup jelas
Pasal 268
Cukup jelas.
Pasal 269
Cukup jelas.
Pasal 270
Cukup jelas.
Pasal 271
Cukup jelas.
Pasal 272
Cukup jelas.
Pasal 273
Cukup jelas.
Pasal 274
Cukup jelas.
Pasal 275
Cukup jelas.
Pasal 276
Cukup jelas.
Pasal 277
Cukup jelas.
Pasal 278
Cukup jelas.
Pasal 279
Cukup jelas.
Pasal 280
Cukup jelas.
Pasal 281
Cukup jelas.
Pasal 282
Cukup jelas.
Pasal 283
Cukup jelas.
1
Pasal 284
Cukup jelas.
Pasal 285
Cukup jelas.
Pasal 286
Cukup jelas.
Pasal 287
Cukup jelas.
Pasal 288
Cukup jelas.
Pasal 289
Cukup jelas.
Pasal 290
Cukup jelas.
Pasal 291
Cukup je!as.
Pasal 292
Yang dimaksud dengan “pekerjaan tidak bisa ditinggalkan” adalah
pekerjaan yang penanganannya tidak dapat digantikan oleh orang lain
atau pekerjaan tersebut tidak dapat dihentikan, misalnya tenaga medis
dan paramedis yang sedang melakukan operasi, penjaga mercu suar, dan
Iain-Iain.
Pasal 293
Cukup jelas.
Pasal 294
Cukup jelas.
Pasal 295
Cukup jelas.
Pasal 296
Cukup jelas.
Pasal 297
Cukup jelas.
Pasal 298
Cukup jelas.
1
Pasal 299
Cukup jelas.
Pasal 300
Cukup jelas.
Pasal 301
Cukup jelas.
Pasal 302
Cukup jelas.
Pasal 303
Cukup jelas.
Pasal 304
Cukup jelas.
Pasal 305
Cukup jelas.
Pasal 306
Cukup jelas.
Pasal 307
Cukup jelas.
Pasal 308
Cukup jelas.
Pasal 309
Cukup jelas.
Pasal 310
Cukup jelas.
Pasal 311
Cukup jelas.
Pasal 312
Cukup jelas.
Pasal 313
Cukup jelas.
Pasal 314
Cukup jelas.
Pasal 315
Cukup jelas.
1
Pasal 316
Cukup jelas.
Pasal 317
Cukup jelas.
Pasal 318
Cukup jelas.
Pasal 319
Cukup jelas.
Pasal 320
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4836
1
1. Kab. Aceh Barat
2. Kab. Aceh Barat
Daya
3. Kab. Aceh Besar
4. Kab. Aceh Jaya
5. Kab. Aceh Selatan
6. Kab. Aceh Singkil
7. Kota Subulussalam
8. Kota Banda Aceh
9. Kab. Nagan Raya
10. Kab. Simeulue
11. Kab. Gayo Luwes
12. KotaSabang
13. Kab. Aceh
Tenggara
14. Kab. Pidie
15. Kab. Pidie Jaya
1. Kab. Aceh Tamiang
2. Kab. Bener Meriah
3. Kab. Aceh Tengah
4. Kab. Aceh Timur
5. Kab. Aceh Utara
6. Kab. Bireuen
7. Kota Langsa
8. Kota Lhokseumawe
1. Kota Medan
2. Kab. Deli Serdang
3. Kab. Serdang
Bedagai
4. Kota Tebing Tinggi
1. Kab. Labuhan Batu
Nanggroe
Aceh
Darusalam
I
Nanggroe
Aceh
Darusalam
II
Sumatera
Utara I
Sumatera
Utara II
LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 10 TAHUN 2008
TANGGAL : 31 Maret 2008
PEMBAGIAN DAERAH PEMILIHAN ANGGOTA DPR RI
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/
Kota)
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
1.
2.
13
30
7
6
10
10
Nanggroe
Aceh
Darussalam
Sumatera
Utara
1
Sumatera
Barat
10
8
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/
Kota)
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
2. Kab. Tapanuli
Selatan
3. Kota Padang
Sidempuan
4. Kab. Mandailing
Natal
5. Kab. Nias
6. Kab. Nias Selatan
7. Kota Sibolga
8. Kab. Tapanuli
Tengah
9. Kab. Tapanuli Utara
10. Kab. Humbang
Hasundutan
11. Kab. Toba Samosir
12. Kab. Samosir
13. Kab. Padang Lawas
Utara
14. Kab. Padang Lawas
1. Kab. Asahan
2. Kota Tanjung Balai
3. Kota Pematang
Siantar
4. Kab. Simalungun
5. Kab. Pakpak Bharat
6. Kab. Dairi
7. Kab. Karo
8. Kota Binjai
9. Kab. Langkat
10. Kab. Batubara
1. Kab. Kepulauan
Mentawai
2. Kab. Pesisir Selatan
3. Kota Padang
4. Kota Solok
5. Kab. Solok
6. Kab. Solok Selatan
7. Kota Sawah Lunto
8. Kab. Sawah
Lunto/ Sijunjung
Sumatera
Utara III
Sumatera
Barat I
143.
1
Riau
Kepulauan
Riau
Jambi
6
6
5
3
7
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/
Kota)
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
9. Kab. Dharmasraya
10. Kota Padang
Panjang
11. Kab. Tanah Datar
1. Kab. Pasaman
2. Kab. Pasaman Barat
3. Kota Payakumbuh
4. Kab. Lima Puluh
Koto
5. Kota Bukittinggi
6. Kab. Agam
7. Kota Pariaman
8. Kab. Padang
Pariaman
1. Kab. Siak
2. Kota Pekan Baru
3. Kab. Rokan Hilir
4. Kab. Rokan Hulu
5. Kab. Bengkalis
6. Kota Dumai
1. Kab. Kuantan Singingi
2. Kab. Indragiri Hulu
3. Kab. Indragiri Hilir
4. Kab. Pelalawan
5. Kab. Kampar
1. Kota Batam
2. Kab. Karimun
3. Kab. Bintan
4. Kab. Lingga
5. Kab. Natuna
6. Kota Tanjung Pinang
1. Kab. Kerinci
2. Kab. Merangin
3. Kab. sarolangun
4. Kab. Batang Hari
5. Kab. Muaro Jambi
6. Kab. Tanjung
Jabung Timur
7. Kab. Tanjung
Jabung Barat
Sumatera
Barat II
Riau I
Riau II
Kepulauan
Riau
Jambi
11
3
7
4.
5.
6.
1
Sumatera
Selatan
Bangka
Belitung
Bengkulu
8
9
3
4
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/
Kota)
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
8. Kab. Tebo
9. Kab. Bungo
10. Kota Jambi
1. Kab. Banyuasin
2. Kab. Musi
Banyuasin
3. Kab. Musi Rawas
4. Kota Palembang
5. Kota Lubuk Linggau
1. Kab. Muara Enim
2. Kab. Lahat
3. Kab. Ogan
Komering Ulu
4. Kab. Ogan Komering
Ulu Timur
5. Kab. Ogan Komering
Ulu Selatan
6. Kota Pagar Alam
7. Kota Prabumulih
8. Kab. Ogan
Komering Ilir
9. Kab. Ogan Ilir
10. Kab. Empat Lawang
1. Kab. Bangka
2. Kab. Belitung
3. Kab. Belitung Timur
4. Kab. Bangka Selatan
5. Kab. Bangka Tengah
6. Kab. Bangka Barat
7. Kota Pangkal Pinang
1. Kota Bengkulu
2. Kab. Bengkulu
Selatan
3. Kab. Kaur
4. Kab. Seluma
5. Kab. Rejang Lebong
6. Kab. Lebong
7. Kab. Kepahiang
8. Kab. Bengkulu Utara
9. Kab. Muko Muko
Sumatera
Selatan I
Sumatera
Selatan II
Bangka
Belitung
Bengkulu
17
3
4
7.
8.
9.
1
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
9
9
6
7
8
7
10
9
6
9
6
10
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/
Kota)
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
1. Kota Bandar
Lampung
2. Kab. Lampung Barat
3. Kab. Lampung
Selatan
4. Kab. Tanggamus
5. Kab. Pesawaran
6. Kota Metro
1. Kab. Lampung
Tengah
2. Kab. Lampung Utara
3. Kab. Tulang Bawang
4. Kab. Way Kanan
5. Kab. Lampung Timur
1. Kodya Jakarta
Timur
1. Kodya Jakarta
Pusat + Luar Negeri
2. Kodya Jakarta
Selatan
1. Kodya Jakarta Barat
2. Kodya Jakarta Utara
3. Kab. Adm.
Kepulauan Seribu
1. Kota Bandung
2. Kota Cimahi
1. Kab. Bandung
2. Kab. Bandung Barat
1. Kab. Cianjur
2. Kota Bogor
1. Kab. Sukabumi
2. Kota Sukabumi
1. Kab. Bogor
1. Kota Bekasi
2. Kota Depok
1. Kab. Purwakarta
2. Kab. Karawang
3. Kab. Bekasi
Lampung
I
Lampung
II
DKI
Jakarta I
DKI
Jakarta II
DKI
Jakarta
III
Jawa
Barat I
Jawa
Barat II
Jawa
Barat III
Jawa
Barat IV
Jawa
Barat V
Jawa
Barat VI
Jawa
Barat VII
18
21
91
10.
11.
12.
1
Banten
Jawa
Tengah
9
8
7
10
6
6
10
8
7
9
7
8
8
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/
Kota)
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
1. Kab. Cirebon
2. Kab. Indramayu
3. Kota Cirebon
1. Kab. Majalengka
2. Kab. Sumedang
3. Kab. Subang
1. Kab. Ciamis
2. Kab. Kuningan
3. Kota Banjar
1. Kab. Garut
2. Kab. Tasikmalaya
3. Kota Tasikmalaya
1. Kab. Pandeglang
2. Kab. Lebak
1. Kota Cilegon
2. Kab. Serang
3. Kota Serang
1. Kab. Tangerang
2. Kota Tangerang
1. Kab. Semarang
2. Kab. Kendal
3. Kota Salatiga
4. Kota Semarang
1. Kab. Kudus
2. Kab. Jepara
3. Kab. Demak
1. Kab. Grobogan
2. Kab. Blora
3. Kab. Rembang
4. Kab. Pati
1. Kab. Wonogiri
2. Kab. Karanganyar
3. Kab. Sragen
1. Kab. Boyolali
2. Kab. Klaten
3. Kab. Sukoharjo
4. Kota Surakarta
1. Kab. Purworejo
2. Kab. Wonosobo
3. Kab. Magelang
Jawa
Barat VIII
Jawa
Barat IX
Jawa
Barat X
Jawa
Barat XI
Banten I
Banten II
Banten
III
Jawa
Tengah I
Jawa
Tengah II
Jawa
Tengah
III
Jawa
Tengah
IV
Jawa
Tengah V
Jawa
Tengah
VI
22
77
13.
14.
1
Daerah
Istimewa
Yogjakarta
Jawa Timur
7
8
8
7
8
10
7
7
8
8
9
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/
Kota)
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
4. Kota Temanggung
5. Kota Magelang
1. Kab. Purbalingga
2. Kab. Banjarnegara
3. Kab. Kebumen
1. Kab. Cilacap
2. Kab. Banyumas
1. Kab. Tegal
2. Kab. Brebes
3. Kota Tegal
1. Kab. Batang
2. Kab. Pekalongan
3. Kab. Pemalang
4. Kota Pekalongan
1. Kab. Kulonprogo
2. Kab. Bantul
3. Kab. Gunung Kidul
4. Kab. Sleman
5. Kota Yogyakarta
1. Kota Surabaya
2. Kab. Sidoarjo
1. Kab. Pasuruan
2. Kota Probolinggo
3. Kota Pasuruan
4. Kab. Probolinggo
1. kab. Bondowoso
2. Kab. Banyuwangi
3. Kab. Situbondo
1. Kab. Lumajang
2. Kab. Jember
1. Kota Malang
2. Kota Batu
3. Kab. Malang
1. Kab. Tulungagung
2. Kota Kediri
3. Kota Blitar
4. Kab. Kediri
5. Kab. Blitar
Jawa
Tengah
VII
Jawa
Tengah
VIII
Jawa
Tengah
IX
Jawa
Tengah X
Daerah
Istimewa
Yogjakarta
Jawa
Timur I
Jawa
Timur II
Jawa
Timur III
Jawa
Timur IV
Jawa
Timur V
Jawa
Timur VI
8
87
15.
16.
1
Bali
Nusa
Tenggara
Barat
8
10
6
6
8
9
10
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/
Kota)
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
1. Kab. Pacitan
2. Kab. Ponorogo
3. Kab. Trenggalek
4. Kab. Magetan
5. Kab. Ngawi
1. Kab. Jombang
2. Kab. Nganjuk
3. Kab. Madiun
4. Kota Mojokerto
5. Kota Madiun
6. Kab. Mojokerto
1. Kab. Bojonegoro
2. Kab. Tuban
1. Kab. Lamongan
2. Kab. Gresik
1. Kab. Bangkalan
2. Kab. Pamekasan
3. Kab. Sampang
4. Kab. Sumenep
1. Kab. Jembrana
2. Kab. Tabanan
3. Kab. Badung
4. Kab. Gianyar
5. Kab. Klungkung
6. Kab. Bangli
7. Kab. Karangasem
8. Kab. Bulengleng
9. Kota Denpasar
1. Kab. Lombok Barat
2. Kab. Lombok
Tengah
3. Kab. Lombok
Timur
4. Kab. Sumbawa
5. Kab. Sumbawa
Barat
6. Kab. Dompu
7. Kab. Bima
8. Kota Mataram
9. Kota Bima
Jawa
Timur VII
Jawa
Timur
VIII
Jawa
Timur IX
Jawa
Timur X
Jawa
Timur XI
Bali
Nusa
Tenggara
Barat
9
10
17.
18.
1
Nusa
Tenggara
Timur
Kalimantan
Barat
6
7
10
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/
Kota)
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
1. Kab. Manggarai
Barat
2. Kab. Manggarai
3. Kab. Ngada
4. Kab. Ende
5. Kab. Sikka
6. Kab. Flores Timur
7. Kab. Lembata
8. Kab. Alor
9. Kab. Nagekeo
10. Kab. Manggarai
Timur
1. Kab. Sumba Barat
2. Kab. Sumba
Tengah
3. Kab. Sumba Barat
Daya
4. Kab. Sumba Timur
5. Kab. Rote Ndao
6. Kab. Kupang
7. Kota Kupang
8. Kab. Belu
9. Kab. Timor Tengah
Utara
10. Kab. Timor Tengah
Selatan
1. Kab. Sambas
2. Kab. Bengkayang
3. Kab. Landak
4. Kab. Pontianak
5. Kab. Sanggau
6. Kab. Sekadau
7. Kab. Ketapang
8. Kab. Sintang
9. Kab. Melawi
10. Kab. Kapuas Hulu
11. Kota Pontianak
12. Kota Singkawang
13. Kab. Kayong Utara
14. Kab. Kubu Raya
Nusa
Tenggara
Timur I
Nusa
Tenggara
Timur II
Kalimantan
Barat
13
10
19.
20.
1
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Timur
6
6
5
8
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/
Kota)
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
1. Kab. Kotawaringin
Barat
2. Kab. Kotawaringin
Timur
3. Kab. Kapuas
4. Kab. Barito Selatan
5. Kab. Barito Utara
6. Kab. Sukamara
7. Kab. Lamandau
8. Kab. Seruyan
9. Kab. Katingan
10. Kab. Pulang Pisau
11. Kab. Gunung Mas
12. Kab. Barito Timur
13. Kab. Murung Raya
14. Kota Palangkaraya
1. Kab. Banjar
2. Kab. Barito Kuala
3. Kab. Tapin
4. Kab. Hulu Sungai
Selatan
5. Kab. Hulu Sungai
Tengah
6. Kab. Hulu Sungai
Utara
7. Kab. Tabalong
8. Kab. Balangan
1. Kab. Tanah Laut
2. Kab. Kota Baru
3. Kab. Tanah Bumbu
4. Kota Banjarmasin
5. Kota Banjar Baru
1. Kab. Paser
2. Kab. Kutai Barat
3. Kab. Kutai
Kartanegara
4. Kab. Kutai Timur
5. Kab. Berau
6. Kab. Malinau
7. Kab. Bulungan
6
11
8
21.
22.
23.
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan I
Kalimantan
Selatan II
Kalimantan
Timur
1
Sulawesi
Utara
Gorontalo
Sulawesi
Tengah
6
3
6
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/
Kota)
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
8. Kab. Nunukan
9. Kab. Penajam
Paser Utara
10. Kota Balikpapan
11. Kota Samarinda
12. Kota Tarakan
13. Kota Bontang
14. Kab. Tana Tidung
1. Kab. Bolaang
Mongondow
2. Kab. Minahasa
3. Kab. Minahasa Utara
4. Kab. Kepulauan
Sangihe
5. Kab. Kepulauan
Talaud
6. Kab. Minahasa
Selatan
7. Kab. Kota Manado
8. Kab. Kota Bitung
9. Kab. Kota Tomohon
10. Kab. Minahasa
Tenggara
11. Kab. Bolaang
Mongondow Utara
12. Kab. Siau
Tagulandang Biaro
13. Kota Kotamobagu
1. Kab. Boalemo
2. Kab. Gorontalo
3. Kab. Pohuwato
4. Kab. Bone Bolango
5. Kota Gorontalo
6. Kab. Gorontalo Utara
1. Kab. Banggai
Kepulauan
2. Kab. Banggai
3. Kab. Morowali
4. Kab. Poso
5. Kab. Tojo Una-una
Sulawesi
Utara
Gorontalo
Sulawesi
Tengah
6
3
6
24.
25.
26.
1
Sulawesi
Selatan
Sulawesi
Tenggara
8
9
7
5
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/
Kota)
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
6. Kab. Donggala
7. Kab. Toli-toli
8. Kab. Buol
9. Kab. Parigi Moutong
10. Kota Palu
1. Kab. Selayar
2. Kab. Bantaeng
3. Kab. Jeneponto
4. Kab. Takalar
5. Kab. Gowa
6. Kota Makassar
1. Kab. Sinjai
2. Kab. Bone
3. Kab. Maros
4. Kab. Bulukumba
5. Kab. Pangkajene
Kepulauan
6. Kab. Barru
7. Kota Pare Pare
8. Kab. Soppeng
9. Kab. Wajo
1. Kab. Sidenrang
Rapang
2. Kab. Enrekang
3. Kab. Luwu
4. Kab. Tana Toraja
5. Kab. Luwu Utara
6. Kab. Luwu Timur
7. Kab. Pinrang
8. Kota Palopo
1. Kab. Buton
2. Kab. Wakatobi
3. Kab. Bombana
4. Kab. Muna
5. Kab. Kendari/Kab.
Konawe
6. Kab. Kolaka
7. Kolaka Utara
8. Konawe Selatan
9. Kota Kendari
Sulawesi
Selatan I
Sulawesi
Selatan II
Sulawesi
Selatan
III
Sulawesi
Tenggara
24
5
27.
28.
1
Sulawesi
Barat
Maluku
Maluku
Utara
3
4
3
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/
Kota)
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
10. Kota Bau Bau
11. Kab. Konawe Utara
12. Kab. Buton Utara
1. Kab. Mamuju Utara
2. Lab. Mamuju
3. Kab. Mamasa
4. Kab. Polewali
Mamasa
5. Kab. Majene
1. Kab. Maluku
Tenggara Barat
2. Kab. Maluku
Tenggara
3. Kab. Kepulauan Aru
4. Kab. Maluku
Tengah
5. Kab. Seram Bagian
Barat
6. Kab. Seram Bagian
Timur
7. Kab. Buru
8. Kota Ambon
9. Kota Tual
1. Kab. Halmahera
Barat
2. Kab. Halmahera
Tengah
3. Kab. Kepulauan
Sula
4. Kab. Halmahera
Selatan
5. Kab. Halmahera
Utara
6. Kab. Halmahera
Timur
7. Kota Ternate
8. Kota Tidore
Kepulauan
Sulawesi
Barat
Maluku
Maluku
Utara
3
4
3
29.
30.
31.
1
Papua
Papua
Barat
10
3
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/
Kota)
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
1. Kab. Merauke
2. Kab. Jayawijaya
3. Kab. Jayapura
4. Kab. Nabire
5. Kab. Yapen
Waropen
6. Kab. Biak Numfor
7. Kab. Supiori
8. Kab. Paniai
9. Kab. Puncak Jaya
10. Kab. Mimika
11. Kab. Boven Digul
12. Kab. Mappi
13. Kab. Asmat
14. Kab. Yahukimo
15. Kab. Pegunungan
Bintang
16. Kab. Tolikara
17. Kab. Sarmi
18. Kab. Keerom
19. Kab. Waropen
20. Kota Jayapura
21. Kab. Mamberamo
Raya
22. Kab. Yalimo
23. Kab. Mamberamo
Tengah
24. Kab. Ndunga
25. Kab. Lanny Jaya
26. Kab. Puncak
27. Kab. Dogiyai
1. Kab. Fak-fak
2. Kab. Sorong
3. Kab. Manokwari
4. Kab. Kaimana
5. Kab. Sorong
Selatan
6. Kab. Raja Ampat
7. Kab. Teluk Bintuni
Papua
Papua
Barat
10
3
32.
33.
1
WILAYAH DAPIL
(Nama Kabupaten/
Kota)
NO. PROVINSI
JUMLAH
KURSI
NAMA
DAPIL
JUMLAH
KURSI
PER DAPIL
8. Kab. Teluk
Wondama
9. Kota Sorong
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Salinan Sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar